Nuryati, mantan TKI bergelar sarjana

Terbaru  4 April 2011 - 04:38 GMT

Nuryati Solapari nekad menjadi TKI demi keinginannya meraih sarjana.

Impian Nuryati Solapari meraih gelar sarjana akhirnya tercapai, setelah dia memutuskan terbang ke Arab Saudi menjadi Tenaga Kerja Indonesia, TKI.

Semula akibat kemiskinan yang melilit keluarganya, dia harus menunda impiannya untuk kuliah.

Dia akhirnya nekad mengadu nasib di negeri orang - sebagai pembantu.

Tetapi pilihannya ini tidak mudah, awalnya.

Tentangan muncul dari mana-mana, utamanya orang tua dan kawan-kawannya, karena "label" TKI yang terlanjur buruk. Namun Nuryati bukanlah sosok yang gampang menyerah.

Dicemooh teman-temannya yang berkata "siswa teladan kok mau jadi pembantu", anak sulung dari tujuh bersaudara ini tak menjadi kecil hati.

"Kalau tidak berani, saya tidak akan bisa mengubah hidup"

Nuryati Solapari

Perempuan kelahiran tahun 1979 ini juga harus berulang kali meyakinkan orang tuanya, yang sejak awal melarangnya pergi karena "khawatir dianiaya majikannya di Arab Saudi".

Walaupun agak was-was, Nuryati menepis jauh-jauh kekhawatiran seperti itu.

Ambisinya untuk kuliah -- dengan biaya sendiri -- akhirnya membuat orang tuanya harus "merestui" kepergian anak sulungnya itu.

"Kalau tidak berani, saya tidak akan bisa mengubah hidup,"kata Nuryati Solapari kepada BBC Indonesia, Hari Senin (23/3) lalu.

Nuryati menjawab semua pertanyaan BBC dengan lancar dan sesekali diwarnai gelak tawa, di sebuah ruangan Fakultas Hukum, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, di Kota Serang -- tempatnya mengajar sebagai dosen mata kuliah Hukum Ketenakerjaan.

"Kalau yang saya pikirkan bukan soal penganiayaan (oleh majikan di Arab Saudi), tapi angan-angan saya ingin kuliah," ungkapnya, terus-terang.

"Itu yang saya gantungkan, suatu saat saya harus memperolehnya," katanya lagi.

Lagipula, menurutnya, tak mungkin bisa menyisihkan penghasilannya jika saat itu (tahun 1998) dia memaksa bekerja di dalam negeri.

Bekal buku pelajaran

Di Arab Saudi, Nuryati beruntung bekerja di sebuah keluarga yang disebutnya berperangai baik.

"Saya bekerja di sebuah keluarga karir. Suami-istri bekerja sebagai dokter,"ungkapnya, mulai bercerita.

Selain bertugas urusan rumah tangga, dia juga diminta membantu dua remaja keluarga itu dalam urusan belajar.

Kepada Heyder Affan, Nuryati mengaku membawa buku-buku pelajaran saat menjadi TKI di Arab Saudi.

Di sela-sela pekerjaannya itu, Nuryati menyempatkan membaca buku-buku pelajaran SMA, yang dia bawah dari Indonesia. "Dan, majikan saya tak pernah memasalahkannya," katanya lagi.

Meskipun majikannya berperangai baik, Nuryati -- yang selalu berprestasi di bidang akademik di masa SMA -- tetap waspada mengantisipasi jika terjadi masalah dirinya dengan sang majikan.

Hal ini dia tekankan karena belajar dari kasus-kasus kekerasan yang menimpa TKI perempuan lainnya.

Nuryati kemudian memberikan contoh, dengan mencatat nomor-nomor telepon penting yang harus segera dihubungi, seperti nomor telepon Konsulat atau Kedutaan Indonesia di negara itu.

Dan tidak main-main, Nuryati mencatat nomor-nomor itu dengan kode rahasia di kerudung yang dia kenakan setiap hari.

"Misalnya angka nol, saya gambar dengan kode matahari, dan angka 1 dengan pohon kelapa," jelasnya, dengan sedikit mengumbar senyum.

"Fungsinya kalau dapat masalah, ya, saya dapat leluasa kirim informasi. Sebab, dokumen yang saya pegang, dibawa oleh majikan," jelasnya.

Sisanya, tentu saja, Nuryati mengaku telah menyiapkan jauh-jauh hari mental serta kemampuan kerja sebagai pembantu.

Lihat wisuda Al Azar

Relatif tidak ada persoalan berarti, Nuryati melakoni rutinitas ini sampai akhirnya dia melihat sebuah berita dari stasiun televisi setempat -- yangmenyiarkan sebuah prosesi wisuda di Universitas Al Azar, di Kairo, Mesir.

"Saat itulah saya terbangun lagi, bahwa niat saya bekerja sebagai TKI adalah untuk kuliah," katanya, mengenang.

Sebelumnya, dia berulang kali memberitahu majikannya bahwa tujuannya bekerja di Arab Saudi adalah untuk mencari uang untuk biaya kuliah.

"Meski di Arab saya banyak uang, tapi karena tujuan awal saya pergi ke Arab cari uang untuk kuliah, maka saya putuskan pulang"

Nuryati Solapari

Sang majikan, tentu saja, terheran-heran mendengar ucapan Nuryati. "Saya untuk pertama kalinya mendengar warga Indonesia menjadi TKI di Arab, karena ingin kuliah. Biasanya mereka pulang untuk bangun rumah," Nuryati menirukan tanggapan majikannya, kali ini dengan tergelak.

Secara terus-terang dia kemudian mengutarakan keinginannya untuk tidak memperpanjang kontrak dan kembali ke Indonesia.

Tentu saja, suami-istri itu berusaha membujuknya agar tetap bekerja di rumahnya.

"Mereka bahkan mengiming-imingi saya, dengan menjanjikan memberi hadiah, berupa membangunkan rumah di Indonesia segala," jelasnya.

Dihantui dilema, karena antara lain tuntutan membiayai adiknya dirawat di rumah sakit, Nuryati akhirnya lebih memilih pulang ke Indonesia di tahun 2001.

"Meski di Arab saya banyak uang dan mendapat majikan yang baik," ungkapnya, "tetapi karena tujuan awal saya pergi ke Arab adalah cari uang untuk kuliah, maka saya putuskan pulang".

Raih gelar sarjana

Hanya tiga hari setelah tiba di Indonesia, Nuryati langsung ikut tes di Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Kota Serang, Propinsi Banten, dan langsung diterima.

Selain mengandalkan uang tabungan selama menjadi TKI, dia juga bekerja sebagai di sebuah restoran dan menjajakan makanan katering,

Dalam waktu 3 tahun, Nuryati akhirnya meraih gelar sarjana dan meraih predikat cum laude, dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,7.

Empat tahun kemudian, dia meraih gelar master bidang hukum di Universitas Jayabaya, Jakarta. Ibu dua anak ini juga memperoleh sertifikat advokat dari Persatuan Advokat Indonesia.

Namun dia akhirnya memilih menjadi dosen di almamaternya, sampai sekarang, seraya mempersiapkan rencananya mengambil program doktoral di Universitas Padjadjaran, Bandung.

Tiga hari setelah kembali ke Indonesia, Nuryati langsung mendaftar kuliah.

Di kampus ini, dia berencana mengambil studi tentang hukum ketenagakerjaan. Dan jika berhasil, perempuan 32 tahun ini bertekad mengubah sebutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang selalu dilekatkan dengan kebodohan dan kemiskinan.

"Karena saya mantan TKI, maka saya akan kembali (di dunia) TKI. Saya ingin ubah paradigma TKI yang selalu diidentikkan dengan kebodohan dan kemiskinan," katanya lagi.

Tetapi, sebetulnya apa yang membuat Anda begitu kuat untuk terus melanjutkan studi? Tanya BBC Indonesia.

"Dengan pendidikan, kita bisa mengubah kehidupan," tegas Nuryati,mengutip pendapat seorang ahli.

Dia kemudian membandingkan kehidupannya sekarang dengan saat dia menjadi pembantu di Arab Saudi.

"Saat jadi TKI, pekerjaan saya luar biasa beratnya, di mana jam kerja tidak tentu,"ungkapnya.

Sebuah situasi yang berbeda 180 derajat saat dia terjun sebagai dosen, sekarang. "Jika tak berpendidikan, tak mungkin saya bisa seperti sekarang," tegasnya.

Bangga mantan TKI

Kepada BBC Indonesia, Nuryati menyatakan bahwa dia tidak rendah diri terhadap sebutan mantan TKI.

Peraih penghargaan Migrant Worker Award 2010 (bersama 12 orang mantan TKI yang berhasil) ini malah mengatakan, justru dia bangga pernah melakoni sebagai pembantu di Arab Saudi.

"Rasanya saya cukup bangga menjadi mantan TKI, karena sungguh luar biasa pengaruhnya terhadap untuk hidup saya," tegasnya.

"Saya tak pernah menyesali," katanya, menandaskan.

Itulah sebabnya, saat mengajar di depan mahasiswanya, Nuryati selalu mengaku pernah bekerja sebagai TKI di Timur Tengah. Hal yang sama juga dia utarakan dalam pertemuan atau seminar menyangkut ketenagakerjaan.

"Dan saya tak malu mengatakannya."

Tentang sebutannya sebagai mantan TKI, Nuryati kemudian menceritakan pengalaman pribadinya. Kali ini dia mengutarakan dengan tersenyum.

"Suami saya bilang: Kalau cari istri anak orang kaya, saya tak mungkin pilih kamu. Tapi karena saya ingin cari istri yang berpotensi kaya, kaya ilmu misalnya, maka saya pilih kamu"

Nuryati Solapari

"Berkat cerita TKI itulah, sebetulnya, suami saya menyunting saya," katanya, seperti membuka rahasia.

"Suami saya bilang: Kalau cari istri anak orang kaya, saya tak mungkin pilih kamu. Tapi karena saya ingin cari istri yang berpotensi kaya, kaya ilmu misalnya, maka saya pilih kamu."

Secara khusus, Nuryati menyebut peran ibunya yang membuatnya mampu menggerakkannya untuk mengubah nasib.

"Beliau dengan ikhlas selalu mendorong secara terus-menerus: 'Kalau mau jadi perempuan, harus menjadi perempuan maju'. Lagipula, adik-adikmu ada dipundakmu," begitu nasihat ibunya, yang selalu ditekankan kepadanya sebagai anak sulung.

Kemiskinan yang dulu melingkupi keluarga serta lingkungannya, juga disebutnya sebagai pendorong kuat terhadap dirinya untuk "berubah".

"Apakah kalau miskin, kita lantas menyerah. Padahal kita punya pikiran, tenaga," katanya kali ini dengan menerawag.

"Lagipula saya tak mau jadi beban keluarga. Saya ingin meninggikan derajat orang tua," tandas Nuryati Solapari.

Kini impian ibu dua anak ini terkabul. Namun Nuryati tak ingin berhenti di sini. Melalui seminar dan diskusi-diskusi di berbagai tempat, perempuan asal Kota Serang, Propinsi Banten ini, terus berbagi ilmu kepada orang-orang tentang pengalamannya menjadi TKI yang kemudian berbuah keberhasilan meraih pendidikan lebih tinggi.

Hubungi kami

* Kolom harus diisi

(Maksimal 500 karakter)

Link terkait

BBC © 2014 BBC tidak bertanggungjawab atas isi dari situs internet pihak luar

Halaman ini akan lebih baik dilihat dengan dengan penjelajah terbaru yang memiliki fasilitas style sheets (CSS). Anda memang bisa melihat isi halaman dengan menggunakan penjelajah saat ini, namun tidak bisa untuk mendapatkan pengalaman visual secara menyeluruh. Mohon perbaraui penjelajah anda atau gunakan CSS, jika memungkinkan.