Mengapa ada aliansi rahasia Arab Saudi dan Israel?

  • Jonathan Marcus
  • Wartawan pertahanan dan diplomasi
Saudi and Israeli flags

Sumber gambar, Getty Images

Dengan berbagai maksud dan tujuan, Arab Saudi dan Israel secara de facto bersekutu dalam berbagai upaya menangkal meningkatnya pengaruh Iran di Timur Tengah. Hubungan ini terus berkembang, namun sangat sensitif, dan seringkali memunculkan apa yang terjadi di bawah permukaan.

Pekan lalu Kepala Staf militer Israel, Jenderal Gadi Eisenkot, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Saudi yang berbasis di Inggris, Elaph, bahwa Israel siap untuk bertukar informasi dengan pihak Saudi untuk menghadapi Iran.

"Ada kepentingan bersama dan sejauh menyangkut poros Iran, kami dalam kesesuaian penuh dengan Saudi," katanya.

Beberapa hari kemudian, berbicara setelah sebuah konferensi di Paris, mantan Menteri Kehakiman Saudi, Dr Muhammad bin Abdul Karim Issa - yang dekat Putera Mahkota Saudi Mohammed bin Salman - mengatakan kepada surat kabar Israel Maariv bahwa "tidak ada kekerasan atau teror yang bisa dibenarkan dengan mengatasnamakan Islam di manapun, tidak juga di Israel".

Ini adalah kecaman terbuka yang jarang terjadi di dunia Arab: kecaman pihak Arab pada kaum radikal yang menyerang orang sipil Israel.

Benjamin Netanyahu (03/11/17)

Sumber gambar, AFP

Keterangan gambar, PM Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa terjadi prubahan dalam hubungan Arab-Israel.

Dan beberapa hari yang lalu seorang mantan tokoh militer senior Israel berbicara di London menceritakan dua pertemuan dengan para pangeran senior Saudi baru-baru ini, dan keduanya mengatakan kepadanya kira-kira, "Anda bukan musuh kami lagi".

Sinyal semacam itu bukan dikirim secara tidak sengaja. Semuanya dikoordinasikan dengan hati-hati dan dimaksudkan untuk memperingatkan Iran tentang hubungan yang berkembang sekaligus untuk mempersiapkan masyarakat Saudi mengingat kemungkinan hubungan Saudi-Israel semacam itu bisa menjadi semakin nyata.

Para pejabat Israel - mengingat sifat budaya politik mereka - cenderung berbicara secara lebih terbuka tentang hubungan-hubungan politik mereka. Yang kita ketahui tentang realitas praktis atau konten strategisnya mungkin masih terbatas, tapi hubungan itu nyata dan terus tumbuh.

Ancaman dari Iran

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Hubungan ini, pada suatu titik, merupakan 'koalisi pada keadaan tertentu.' Penghancuran rezim Saddam Hussein di Irak pada tahun 2003 oleh koalisi pimpinan AS telah menyingkirkan seorang penyeimbang strategis Arab Sunni terhadap Iran yang Syiah.

Kepemimpinan politik yang didominasi Syiah di Irak yang merupakan buah dari penggulingan Saddam Hussein, dengan sendirinya menjalin hubungan dekat dengan Teheran. Bukanlah kebetulan bahwa milisi Syiah Irak sangat aktif dalam pertempuran di Suriah untuk mendukung pemerintah Bashar al-Assad.

Keputusan Iran untuk mendukung Presiden Assad dalam perang saudara Suriah, bersama dengan pasukan dan peralatan udara Rusia, membantu mengubah arus jadi menguntungkan mereka. Ini membuka kemungkinan akan suatu koridor Iran yang membentang jauh dari Teheran hingga Laut Tengah atau Mediterania - sesuatu yang oleh banyak orang Sunni dipandang sebagai penyusupan Persia dan pihak asing ke jantung Timur Tengah yang didominasi Arab.

Jadi permusuhan antara Iran dan Arab Saudi bersifat strategis dan religius.

Arab Saudi, Mohammed bin Salman, Riyadh

Sumber gambar, AFP

Keterangan gambar, Putera Mahkota Mohammed bin Salman sudah mengungkapkan Vision 2030, yang mencakup rencana meluas untuk membawa perubahan sosial dan ekonomi.

Untuk saat ini Iran dan sekutu dan kelompok yang dikuasainya, seperti kelompok milisi Syiah Hizbullah di Lebanon, tampaknya merupakan pihak yang unggul. Jadi penguatan hubungan antara Israel dan Arab Saudi merupakan hal yang masuk akal bagi Israel dan Saudi.

Keduanya bersikeras bahwa Iran tidak boleh dibiarkan menjadi negara nuklir. Keduanya merasa tidak nyaman dengan aspek kesepakatan internasional terkait nuklir Iran. Dan kedua negara memandang Hizbullah di Lebanon yang makin terlatih dan makin baik perlengkapannya sebagai kekuatan penyebab ketidakstabilan di wilayah ini.

Faktor Trump

Tapi ada hal lain yang terjadi. Bukan hanya masalah Iran yang sedang berada di atas angin. Faktor penting lainnya yang perlu dipertimbangkan juga, adalah terutama dampak dari pemerintahan baru AS di bawah Donald Trump, dan dampak lebih luas Arab Spring dan perang mengerikan di Suriah trhadap Timur Tengah.

Selintas, baik Arab Saudi maupun Israel tidak punya masalah tentang pemerintahan baru di Washington.

Trump dalam kunjungan ke kedua negara seakan berhasil merangkul pandangan strategis kedua negara dan sama-sama sangat menentang kesepakatan nuklir dengan Iran.

Donald Trump (left) and Saudi King Salman bin Adulaziz al-Saud (20/05/17)

Sumber gambar, AFP

Keterangan gambar, Presiden Donald Trump dengan bulat mendukung sikap Arab Saudi terkait Iran.

Trump melimpahi para sekutu Washington di kawasan Teluk dengan penjualan senjata-senjata baru yang lebih canggih.

Tapi empati adalah satu hal, strategi praktis adalah hal lain. Betapa pun baiknya sambutan terhadap Donald Trump di Israel dan Arab Saudi, kedua pemerintah tahu bahwa kebijakan AS di wilayah tersebut tampaknya masih tersandung-sandung.

Ihwal perang saudara di Suriah, AS dan sekutu-sekutunya telah diungguli oleh Rusia dan Iran.

Dengan segala ucapan dan retorikanya, AS belum mengajukan kebijakan yang kredibel dan koheren untuk membendung pengaruh Iran.

Tak heran Putera Mahkota Saudi memutuskan bahwa negaranya harus lebih aktif demi kepentingan mereka sendiri. Ada kesan, bahwa Israel dan Arab Saudi sedang menyesuaikan diri dengan menurunnya pengaruh AS di wilayah ini dan kembalinya aktor lama seperti Rusia.

Ketakutan Israel

Dan ada pula yang lebih mendasar. Putera Mahkota Mohammad bin Salman melancarkan strategi ganda, dengan mencoba meredam pengaruh Iran di satu sisi sekaligus juga mengubah dan memodernisasi negaranya.

Yang terakhir ini, modernisasi, dalam banyak hal merupakan tanggapan terhadap pergolakan Arab Spring dan ancaman kekerasan kaum Islam radikal.

Putera mahkota tampaknya telah bertekad bahwa wilayah tersebut harus berubah jika ingin memiliki masa depan. Dan perubahan dimulai di rumah sendiri. Reformasi mungkin sama pentingnya dengan mengandung Iran.

Berbagai pembicaraan pribadi membuat saya percaya bahwa hal itu juga merupakan sesuatu yang diyakini Israel. Mereka menyadari bahwa aktivisme Putera Mahkota memang memunculkan banyak risiko.

Tapi mereka menyaksikan perang di Suriah dengan kengerian, khususnya pada apa yang oleh sejumlah tokoh Israel disebut sebagai "normalisasi" penggunaan senjata kimia: respons dunia sangat terbatas dan Rusia memberi perlindungan kuat kepada Suriah di Dewan Keamanan PBB.

Israel memandang Suriah sebagai 'laboratorium' tentang apa yang bisa menjadi masa depan kawasan ini. Oleh karena itu, mereka menekankan hal-hal positif pada apa yang sedang dilakukan Putera Mahkota Arab Saudi.

Seberapa jauh dinamika Israel-Saudi ini bisa berlangsung? Nah, itu tergantung dari banyak faktor. Apakah usaha Putera Mahkota Mohammad bin Salman untuk mengubah Arab Saudi berhasil? Mungkinkah dia terlalu ambisius dalam berbagai langkahnya untuk meluaskan pengaruh regional Arab Saudi?

Fence as seen from Israeli side of the occupied Golan Heights

Sumber gambar, AFP

Keterangan gambar, Israel mencemaskan makin kuatnya cengkeraman Iran di sepanjang perbatasan Suriah.

Pada dasarnya, jika hubungan Saudi-Israel ingin berhasil, perlu ada kemajuan ihwal konflik Palestina. Saudi sejak lama mengatakan bahwa Palestina harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum mereka secara terbuka mengakui Israel.

Tanpa pembaharuan berarti atas proses perdamaian yang benar-benar menjanjikan suatu negara Palestina yang berdaulat, aliansi 'Saudi-Israel' harus tetap berada dalam bayang-bayang belaka.