Kartu Pra Kerja Jokowi: Menggaji pengangguran, akankah tepat sasaran?

  • Callistasia Wijaya
  • BBC News Indonesia
Jokowi

Sumber gambar, NurPhoto/Getty Images

Kartu Pra Kerja yang diwacanakan calon presiden petahana Joko Widodo akan sulit untuk diawasi penggunaannya dan efektivitasnya, ujar Triyono, Peneliti Ketenagakerjaan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Presiden Joko Widodo mewacanakan distribusi Kartu Pra Kerja untuk masyarakat yang belum mendapatkan pekerjaan, jika ia terpilih menjadi presiden lagi.

Ia berujar pemegang kartu akan diberi pelatihan untuk mempersiapkan diri di dunia kerja dan tunjangan dalam kurun waktu tertentu.

Penerimanya, ujar Jokowi, akan dibatasi kuota.

Juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Arya Sinulingga, menjelaskan bahwa Kartu Pra-Kerja adalah program andalan Jokowi yang ditujukan untuk mengurangi pengangguran dan mewujudkan keadilan sosial.

Program ini, ujarnya, akan menyasar dua golongan, yaitu pekerja yang kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan perguruan tinggi yang belum bekerja.

Arya Sinulingga

Sumber gambar, Kompas.com

Keterangan gambar,

Juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Arya Sinulingga, menjelaskan bahwa Kartu Pra-Kerja adalah program andalan Jokowi yang ditujukan untuk mengurangi pengangguran.

Arya mengatakan pelatihan keterampilan akan dilakukan di Balai Latihan Kerja (BLK) selama dua sampai tiga bulan, di mana dalam proses itu peserta akan diberi tunjangan. Untuk mantan pekerja yang kena PHK, mereka akan tetap diberi tunjangan maksimal tiga bulan setelah proses pelatihan selesai.

Sementara itu, lanjutnya, lulusan sekolah menengah atau perguruan tinggi akan menerima tunjangan maksimal selama setahun setelah memulai pelatihan, selama mereka belum mendapat pekerjaan.

"Kita belum tahu berapa besaran honornya. Targetnya mungkin, sekitar dua juta orang yang akan menerima pelatihan itu di tahun 2020," ujarnya.

'Beri anggaran ke BLK, bukan individu'

Triyono, peneliti ketenagakerjaan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI melansir data Badan Pusat Statistik di bulan Agustus 2018, yang menyebut bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) nasional mencapai 5,34% atau 7 juta jiwa. Alumni SMK berkontribusi pada 11% dari angka itu, katanya.

Triyono mengatakan program peningkatan keterampilan sangat penting, khususnya bagi para lulusan SMK.

"Sekitar 70 hingga 80% lulusan SMK harus dilatih kembali sebelum terjun ke dunia kerja," ujarnya.

Namun, ia mengatakan anggaran yang dibutuhkan untuk memberi tunjangan pada individu-individu yang belum bekerja bisa jadi cukup besar.

Efektivitas program seperti itu pun masih jadi pertanyaan, katanya.

"Bukan masalah membebani anggaran atau tidak, tetapi yang lebih urgent bagaimana target tersebut tepat sasaran. Saya lebih prefer kalau tunjangan tidak diberikan per-individu," katanya.

Jokowi

Sumber gambar, PUSPA PERWITASARI/ANTARA

Keterangan gambar,

"Saya lebih prefer kalau tunjangan tidak diberikan per-individu," kata pengamat ketenagakerjaan LIPI Triyono.

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Ia menambahkan program itu sebaiknya jangan bersifat seperti "pemadam kebakaran", tapi fokus ke upaya peningkatan kompetensi dan keterampilan individu melalui pengembangan BLK.

Pemerintah, ujarnya, harus berupaya membuat BLK berdaya saing dan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

"Saya lebih cenderung bagaimana uang ini digunakan untuk keterampilan karena kalau (tunjangan diberikan) ke individu, bagaimana monev (monitoring dan evaluasi program)-nya? Kan susah," kata Triyono.

"Saya condong (anggaran dialirkan) ke BLK Daerah...Jadi monev, (data) orang itu kerja di mana, akan lebih terkontrol karena terstruktur," katanya.

Sementara itu, Arya Sinulingga mengatakan timnya belum secara spesifik merencanakan sistem pengawasan program ini.

'Menuju welfare-state'

Pengamat reformasi administrasi dari Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, Yogi Suprayogi Sugandi, mengatakan pemerintah perlu merinci sasaran juga prasyarat penerima kartu Pra Kerja agar tidak salah sasaran.

"Misalnya, mereka diberi kesempatan magang di kantor pemerintah dan sebagainya dan diberi tunjangan oleh pemerintah. Jika selama satu tahun dia tidak dapat pekerjaan, dia akan diberikan modal usaha," katanya.

Ia mengatakan pemerintah bisa belajar dari pelaksanaan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) di era mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kurang tepat sasaran.

Saat itu, alih-alih menggunakan subsidi untuk membeli bahan makanan, katanya, banyak masyarakat miskin yang menggunakan uang itu untuk membeli pulsa.

Jokowi

Sumber gambar, Akbar Nugroho Gumay/ANTARA

Keterangan gambar,

"Karena masalah BPJS aja kita masih keteteran nih, apalagi sekarang ditambah lagi untuk melindungi yang tidak kerja," ujar pengamat reformasi administrasi Yogi Suprayogi

Yogi menambahkan konsep ini perlu dimatangkan, karena terkait juga dengan kesiapan fiskal.

"Karena masalah BPJS saja kita masih keteteran, apalagi sekarang ditambah lagi untuk melindungi yang tidak kerja," ujarnya.

Meski begitu, Yogi mengatakan ia mengapresisi niat Joko Widodo memberikan Kartu Pra Kerja karena konsep itu akan membuat Indonesia berjalan ke arah negara kesejahteraan atau welfare-state.

Kebijakan itu, ujarnya, akan bermanfaat untuk orang-orang yang tinggal di daerah terpencil, seperti di Indonesia bagian timur.