Kerusuhan Mei 1998: "Apa salah kami sampai (diancam) mau dibakar dan dibunuh?"

  • Sri Lestari
  • BBC Indonesia
Kerusuhan Mei 1998

Sumber gambar, CHOO YOUN-KONG/AFP/Getty Images

Keterangan gambar, Penjarahan yang terjadi di sejumlah tempat di Jakarta pada pertengahan Mei 1998

Kerusuhan Mei yang terjadi pada 20 tahun yang lalu masih menyisakan luka bagi orang yang mengalaminya. BBC Indonesia menemui sejumlah orang yang menyaksikan atau mengalami langsung kerusuhan yang terjadi pada 13-15 Mei tersebut.

Candra Jap "Apa salah kami sampai (diancam) mau dibakar dan dibunuh?"

Tak jauh dari Plaza Glodok, Candra Jap yang 20 tahun lalu masih SMP, tengah mengerjakan soal Ebtanas hari terakhir ketika mendengar teriakan pertokoan glodok dibakar.

Dari jendela ruang kelasnya di lantai 3, Candra melihat asap dari pertokoan Glodok Plaza. Pikirannya pun tak tenang.

"Guru waktu itu bilang selesaikan saja sebisanya, lalu pulang," jelas Candra.

Setelah mengerjakan soal Candra pun pulang ke rumah yang tak jauh dari rumah. Sampai di rumah, pintu dan jendela ditutup, dan dia pun tak boleh keluar rumah sampai sekitar tiga hari.

"Dari rumah bisa kelihatan tuh rumah teman saya di seberang kali, ada rumahnya dijarah, mobilnya dibakar," ungkap Candra, "Teriakannya ga enak didengar 'bakar Cina, bunuh Cina, jarah."

Candra Jap

Sumber gambar, OKI BUDHI/BBC INDONESIA

Keterangan gambar, Candra aktif di organisasi yang mendukung toleransi dan keberagaman

Bagi Candra yang baru berusia sekitar 15 tahun, teriakan itu mengusik hatinya "Untuk anak kecil yang sejak kecil didoktrin pelajaran PMP sampe berpikir, salah kami apa, sampe (diancam) mau dibakar atau dibunuh, dan polisi pun tidak ada saat itu," kata Candra.

Ketika bertanya pada orangtuanya, dia tak mendapat jawaban "Udah diam kata orang tua ini masalah politik," kata Candra.

Sepanjang hari, Candra melihat orang-orang berseliweran membawa barang-barang yang diambil dari pertokoan. "Ada ibu-ibu yang mengangkat kulkas dua pintu, dan barang-barang lainnya,"kata Candra.

Sekolah pun diliburkan dan setiap hari Candra dan para tetangga berjaga-jaga di sekitar rumah.

"Semua anak cowo bawa sapu golok untuk jaga-jaga buat blokadę di rumah masing masing, gerobak sampah ditutup itu kalau ada gerombolan lewat, ada juga yang sempat lewat tapi tidak diapa-apain, karena yang jaga banyak orang yang bukan Tionghoa.

Ketika kembali sekolah, banyak teman-temannya yang tak kembali lagi "Banyak yang pergi keluar negeri sampai beberapa tahun lalu baru kembali," kata dia.

Candra Jap

Sumber gambar, Oki Budhi/BBC Indonesia

Keterangan gambar, Candra menunjukkan pagar tinggi yang dibangun di depan jalan menuju permukiman warga

Tak lama setelah kerusuhan, warga membangun pagar tinggi di rumah dan jalan masuk ke rumah mereka. Pagar-pagar itu masih ada setelah 20 tahun.

Cerita tentang kerusuhan, penjarahan dan perkosaan disejumlah tempat didengarnya dari teman-temannya. Situasi di Mei 1998 itu membuat Candra terus mencari mengapa etnis Cina dijadikan sasaran.

"Akhirnya saya tahu ini bukan yang pertama etnis Tionghoa dijadikan sasaran," kata dia.

Candra pun berupaya memahami situasi tersebut dengan memperluas pergaulannya dengan orang-orang di luar keturunan Cina dengan masuk ke SMA Negeri, dan kemudian aktif di organisasi Indonesia Tionghoa, yang banyak melakukan kegiatan yang berkaitan dengan toleransi dan hubungan antar etnis serta agama.

Muhamad Ridwan "Restoran saya dibakar, pelaku masih berkeliaran"

Muhamad Ridwan (57) baru saja selesai memasak di dapur di restoran masakan Padang miliknya yang terletak persis di bawah jembatan yang menghubungkan Glodok City dan Harco Glodok. Ketika melihat di depan restoran, Ridwan melihat kerumunan orang di depan pusat perbelanjaan.

"Saat itu aku perkirakan hanya demo besar-besaran saja" ungkap Ridwan.

Namun tak lama kemudian, massa tersebut tiba-tiba menjadi beringas, mereka membuka pintu-pintu toko yang terkunci lalu mengambil barang-barang di dalamnya. "Diambil diangkuti semua, aku ga tau ke mana, di toko orang diambil sampe kosong," ungkat Ridwan.

Muhamad Ridwan

Sumber gambar, OKI BUDHI/BBC INDONESIA

Keterangan gambar, Ridwan kehilangan restoran di Glodok dan Cipete dalam kerusuhan Mei 1998.
Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Melihat situasi tersebut, Ridwan memutuskan untuk pulang ke rumahnya di kawasan Cempaka Putih. Dia meminta 15 orang karyawannya menyelamatkan diri dan tidak usah mempedulikan restorannya.

Sampai di sekitar Hotel Jayakarta, Ridwan sempat dihadang aparat keamanan " Mau kemana? Katanya, saya katakan saya mau pulang, 'ayo cepat' kata petugas itu." Dia mempercepat langkahnya dan melanjutkan jalan kaki menuju rumah.

"Saya ikuti saja orang-orang itu, soalnya perusuh itu ga diapa-apain, saya ikut kalau mereka teriak saya teriak, tapi saya ga ikuti cara mereka, saya hanya ingin pulang," ungkap Ridwan.

Di sepanjang jalan di kawasan Mangga Besar, massa tersebut membuka paksa pintu toko mobil dan mengeluarkan isinya. "Lalu mobil-mobil itu mereka bakar, saya juga lihat ada orang yang membawa barang apa saja, dari kulkas sampai beras dan sofa," jelas pria yang sudah 35 tahun berbisnis restoran tersebut.

Sejumlah orang, menurut Ridwan juga menghentikan motor-motor yang lewat di sekitar mereka. "Kalau orang Cina, motornya diambil lalu dibakar, orangnya disuruh pergi," kata dia.

Sore hari dia sampai di rumahnya, dan melihat para tetangganya sudah berjaga-jaga di mulut jalan yang menuju rumahnya. Malam itu perasaan Ridwan tak tenang, setelah mendengar dari salah seorang karyawannya bahwa kompleks pertokoan mulai dibakar.

Esok harinya, Ridwan pergi kembali ke Glodok, walaupun situasi di sejumlah tempat di Jakarta masih kacau. Di Glodok, restorannya terbakar habis tak ada yang bisa diselamatkan. "Mobil saya yang isinya stok beras juga hilang, kalau terbakar kan pasti ada bekasnya, ini tidak, " kata Ridwan.

Muhamad Ridwan

Sumber gambar, BBC INDONESIA

Keterangan gambar, Muhamad Ridwan kembali menempati kios di Glodok City dengan ukuran yang lebih kecil.

Di sana dia juga melihat sejumlah pemilik toko mulai berdatangan.

"Banyak yang kaget, ada satu orang saya kenal, dia membawa tas berisi kertas yang dianggapnya sebagai uang, saya sapa dia diam saja, tidak mengenali saya," ungkap Ridwan.

Tak hanya di Glodok, restoran miliknya di Cipete pun terbakar habis. Namun para karyawan masih sempat menyelamatkan kursi makan.

"Saya rugi sampai ratusan juta, hampir satu miliar," keluhnya.

Meski sempat syok, namun wajah anak-anak yang terbayang dalam pikirannya membuatnya optimis untuk bangkit kembali.

"Saya lalu meminta agar diberikan tempat untuk berjualan, modal saya pinjam dari keluarga," kata Ridwan. Setahun setelah kebakaran, Ridwan pun kembali berjualan di salah satu kios di Glodok City.

"Yang saya sayangkan pemerintah tak ada keringanan sama sekali padahal kita dapat kerusuhan musibah, jadi kita bayar bangunan standar harga pemerintah bangunan yang baru, cuma dikasih kelonggaran kredit selama lima tahun," kata Ridwan.

Glodok

Sumber gambar, OKI BUDHI/BBC INDONESIA

Keterangan gambar, Lokasi bekas warung Ridwan yang sekarang menjadi parkiran motor.

Dua puluh tahun setelah kerusuhan Mei, Ridwan masih membuka restoran di kawasan Glodok, sekarang bernama Glodok City. Tak sebesar dulu, dan hanya memiliki satu karyawan saja. Dia mengatakan memulai usahanya dari awal tanpa bantuan pemerintah.

Dia mengaku heran para pelaku kerusuhan tersebut tidak dihukum.

"Padahal yang bakar toko ada wajahnya di TV, aku lihat mereka aman-aman saja, kalau mereka berbuat salahya dihukum donk, kalau tidak kan mereka semakin jadi nantinya," ujar Ridwan.

Christianto Wibisono "Rumah putri saya dibakar dan saya mendapatkan ancaman"

Sehari setelah penembakan mahasisws Trisakti pada 12 Mei 1998, telepon berdering di rumah pengamat ekonomi dan pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia PDBI Christianto Wibisono. Putri sulungnya yang tinggal di Pantai Indah Kapuk, memberitahu bahwa warga di kompleks perumahan elit tersebut harus mengungsi ke sebuah 'shelter' yang disediakan pengembang untuk 'menyelamatkan diri'.

Christianto yang menyadari situasi akan kacau meminta anaknya berserta keluarganya untuk sementara mengungsi ke rumahnya di kawasan Jakarta Pusat.

"Karena waktu itu masih punya baby dan bagaimana nanti situasinya di sana," kata Christianto. Di hari yang sama, dia juga melihat pergerakan massa menuju rumah konglomerat yang dekat dengan Presiden Soeharto.

"Mereka membakar rumah oom Liem," kata dia.

Christianto Wibisono

Sumber gambar, OKI BUDHI/BBC INDONESIA

Keterangan gambar, Christianto Wibisono sempat tinggal di luar negeri pasca kerusuhan Mei, karena mendapatkan ancaman.

Esok harinya, Christianto meminta supirnya untuk mengecek rumah putrinya di Pantai Indah Kapuk, dan ternyata sudah habis terbakar. Ada 80 lokasi yang dibakar di permukiman tersebut.

Sebagai pengamat, Christianto sering menyampaikan pandangan kritis terhadap krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Dia pun menerima ancaman bernada rasis.

"Sudah Juni ada ancaman surat kaleng yang tidak nyaman, surat ancaman ditujukan ke saya, waktu itu PDBI itu yang kritis menilai situasi politik," jelas dia.

Ancaman itu membuat dirinya memilih untuk pindah ke Amerika Serikat, dan kembali lagi ke Indonesia pada 2006. Christianto seringkali menjadi membantu kerja-kerja pemerintah RI selama di Amerika.

Dia berharap setelah Mei 1998, Indonesia jangan sampai kembali mengalami kerusuhan rasial.

"Jangan sampai lagi mengalami masalah SARA itu, dan disayangkan terjadinya gejolak pilkada kemarin ya yang kalau terjadi lagi akan membuat mundur negara ini," ujar Christianto.

Rumah anak Christianto Wibisono

Sumber gambar, Dokumentasi Christianto Wibisono

Keterangan gambar, Rumah putri Christianto Wibisono yang dibakar di Pantai Indah Kapuk pada Mei 1998

Cahyo Paniling "Rumah dan motor saya dibakar, celana dalam pun dijarah"

Paniling tak menyangka akan terjadi kerusuhan, pagi itu dia pergi bekerja dari rumahnya di Solo ke Boyolali seperti biasa. Sore hari dia mendapatkan telepon dari tetangganya agar dirinya jangan pulang ke rumahnya dulu.

"Saya lantas ngungsi di tempat teman saya di Fajar Indah," kata dia.

Esok harinya Panailing pun kembali ke rumahnya, "Kok pintu rumah sudah dijebol semua, kondisi rumah sudah berantakan semua," ungkap dia, uang yang disimpan dilaci rumahnya pun hilang.

Tak hanya pintu yang dijarah, seisi rumah ikut ludes dijarah oleh kerumanan massa saat kerusuhan berlangsung. Sepeda motor kesayangannya, pun tak luput dibakar oleh massa di jalan depan rumah.

"Di jalan itu ada bekas motor saya yang dibakar. Aspalnya sampai meleleh. Padahal itu motor yang paling saya sukai dan limited edition," ujar Panailing, "Celana dalam ikut dijarah".

Panailing

Sumber gambar, Fajar Sodiq

Setelah peristiwa itu, Panailing hanya mengandalkan pemberian dari kawan dan tetangga untuk melanjutkan hidup.

"Hubungan saya dengan tetangga bagus. Setelah penjarahan itu, saya tidak punya apa-apa. Warga sekitar mengirimi makanan. Kemudian ada juga yang memberikan pakaian, " kenang Paniling.

Tak ingin larut dalam kesedihan, dia punsedikit demi sedikit mengumpulkan uang untuk menghidupi keluarga. Dia kemudian pindah ke rumah milik mertuanya di Kemlayan, Solo pada tahun 2001.

Sumartono Hadinoto "Melarikan diri dengan menjebol tembok dan sempat dirawat psikiater"

Sumartono langsung menutup toko begitu mendengar dari teman radio amatir bahwa ada demo besar-besaran di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).

"Saya juga mengabarkan kepada teman-teman tentang demo itu. Tapi tak beberapa lama, rumah saya sudah dilempari batu, " kata Sumartono yang memiliki usaha aluminium di Jalan Juanda, Jebres, Solo.

Tempat usahanya menyatu dengan tempat tinggal. Ketika terjadi kerusuhan, seluruh anggota keluarganya ada di rumah. Tak berselang lama, dia mendapatkan telepon dari ketua RT dan Ketua RW. Mereka meminta kepada Sumartono dan keluarganya segera menuju belakang rumah.

"Tembok di belakang rumah itu dijebol dan dilubangi dengan diameter sebesar 1 meter. Lalu kami (saya, istri, anak, ibu) keluar dengan kepala ditarik ke belakang, " jelas dia.

Sumartono

Sumber gambar, Fajar Sodiq

Ia bersama dengan keluarga mengungsi selama lima hari di rumah Ketua RT. Pada malam hari saat kejadian itu, ia menengok kondisi rumah. Ia mendapati isi rumah sudah dijarah. "AC, kompor, gas elpiji, sepatu roda, pompa air. Pokoknya semua yang terlihat dijarah, " kata dia.

Sumartono mengatakan penjarahan dan kerusuhan di Solo berlangsung tiga hari dan tidak adanya petugas keamanan yang berusaha meredakan kerusuhan.

Usai kerusuhan mereda, ia bersama dengan kawan-kawannya yang tergabung dalam Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) membuka Posko untuk mendata dan membantu korban. Organisasi ini memberikan bantuan biaya hidup para korban, pengurusan surat dan stimulan untuk modal usaha.

"Nha saat wawancara pendataan itu banyak korban yang menangis. Mereka cerita dipukul, dijarah, dibakar rumahnya. Cerita-cerita itu menjadi gangguan psikologis bagi saya. Lalu saya dirawat di psikiater selama satu setengah tahun," kenang Sumartono.

Setelah itu Sumartono kembali menata usahanya dan terlibat dalam kegiatan sosial dan toleransi. Dia mendapatkan penghargaan Global Interfaith, organisasi yang berafiliasi dengan PBB. Penghargaan tersebut dalam kategori Advokasi dan Keterlibatan dalam Kebijakan Publik.

Wahyu Effendi 'Impunitas pelaku, tragedi Mei 1998 dikhawatirkan terulang'

Bagi saya, Mei 1998 merupakan culture shock, apalagi saya keturunan Tionghoa yang berasal dari Belitung yang di sana masyarakatnya membaur. Dua puluh tahun yang lalu, saya tinggal di daerah Jakarta Barat, dan di dalam kompleks saya menyaksikan bagaimana penjarahan dan pembakaran terjadi.

"Waktu itu saya mengamati situasi dan ikut 'ronda' bersama para tetangga dan melihat pergerakan massa dari atap rumah," jelas Wahyu.

Wahyu Effendi

Sumber gambar, Oki Budhi /BBC INDONESIA

Sampai 20 Mei, melihat situasi belum mereda, Wahyu memutuskan untuk pergi sementara ke Bali bersama keluarganya.

Tak lama di Bali, dia kembali ke Jakarta dan menghubungi rekan-rekannya untuk menyikapi situasi pasca Mei 1998.

"Ya udah kita ngumpul dengan Gus Dur dan teman-teman NU diskusi kenapa sampai begini dan memang ada masalah dengan bangsa ini, akhirnya diputuskan untuk membentuk GANDI," jelas Wahyu.

GANDI melakukan upaya untuk menghapus diskriminasi terhadap kalangan minoritas dengan melakukan desakan perubahan UU yang diskriminatif.

Wahyu khawatir Tragedi Mei 1998 dapat terulang kembali karena tidak ada hukuman bagi pelakunya.

"Kalau tidak ada hukuman bisa diartikan yang dilakukan itu benar, dan korban tidak safe lagi, belum pernah ada jaminan juga ini tak ada terjadi, apalagi ujaran kebencian mudah menyebar sekarang, modus yang sama dengan Mei 1998," ujar Wahyu.

Foto dan video Oki Budhi, laporan dari Solo oleh Fajar Sodiq