Kamus istilah pemilu: Dari mana asalnya cebong dan kampret

jokowi, prabowo

Sumber gambar, Antara/Hafidz Mubarak A

Keterangan gambar,

Joko Widodo dan Prabowo Subianto sebelum mengikuti debat calon presiden.

Berbagai istilah ramai menghiasi media sosial, dari cebong dan kampret', hingga kaum bumi datar. Apa artinya? Jangan sampai salah menebak.

Menjelang pemilu, istilah-istilah ini pasti akan kerap menghiasi grup WhatsApp Anda.

Media sosial pun riuh dengan berbagai kata yang punya arti baru ketika dipakai dalam konteks pemilu. Agar tak bingung dan salah paham, kami telah menyusun panduannya untuk Anda.

Apa arti istilah ini dan bagiamana awal kemunculannya? Simak di kamus di bawah ini.

Kamus istilah Pemilu Indonesia 2019

Menjelang pemilu, istilah-istilah ini pasti akan kerap menghiasi grup WhatsApp Anda. Medua sosial pun riuh dengan berbagai kata yang punya arti baru ketika dipakai dalam konteks pemilu. Agar tak bingung dan salah paham, kami telah menyusun panduannya untuk Anda.

Kaum Bumi Datar

/datar/da.tar/ adjektiva

Anda masih ingat dengan teori Bumi datar yang dipercaya beberapa orang? Walau namanya diambil dari situ, sebutan Kaum Bumi Datar bukan diperuntukan untuk anggota komunitas Flat Earth Society yang tersebar di berbagai negara di dunia.

Dalam konteks pemilu, frasa ini lebih banyak digunakan netizen untuk merujuk pada kalangan fanatik agama yang dianggap 'bersumbu pendek' alias mudah marah dan mudah dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu (tetapi kalau dikritik atau diberi masukan akan lebih marah-marah lagi).

Kelas menengah ngehe

/n gehe / nge.he / adjektiva / belum ada dalam KBBI

Sebutan 'kelas menengah ngehe' biasanya merujuk pada warga berpenghasilan sedang yang banyak maunya dan banyak tuntutan.

Ciri-cirinya mudah ditemukan, misalnya selalu mengeluh tentang kemacetan Jakarta padahal dirinya sendiri mengendarai mobil pribadi yang jadi sumber kemacetan; beli produk Starbucks (cuma) kalau sedang promo saja; bahasanya suka campur-campur Indonesia-Inggris agar terlihat keren; suka pindah-pindah aplikasi transpor online tergantung diskon paling murah; dan sibuk berburu tiket Coldplay saat orang-orang ramai bicara politik.

Dalam konteks pemilu, frasa ini juga banyak digunakan untuk menyebut warga yang mengelu-elukan pembangunan kota tetapi apatis dengan masalah kaum marjinal, misalnya isu penggusuran atau reklamasi.

Cebong

cebong / ce-bong / nomina /

Kata turunan: cebongers, cebby, kecebong

Cebongers banyak digunakan sejak Pilpres 2014 lalu untuk menyebut pendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Kata ini diambil dari istilah kecebong yang artinya adalah larva binatang amfibi (seperti misalnya kodok) yang hidup di air dan bernapas dengan insang serta berekor.

Sebutan ini mungkin muncul karena para haters terinspirasi oleh fakta bahwa Joko Widodo gemar memelihara kodok ketika menjadi walikota Solo dan gubernur Jakarta.

Karena itulah segelintir orang bahkan menyebut Jokowi sebagai 'raja kodok' - berdampingan dengan sebutan cebongers (pengikutnya). Pemimpin FPI, Rizieq Shihab sempat meledek dengan sebutan 'Jokodok.'

Kampret

kampret / kam.pret / nomina (n)

Jika pendukung Jokowi disebut cebong, pendukung Prabowo disebut dengan kampret. Istilah ini muncul sejak pilpres 2014, sebagai balasan atas kata cebong yang digunakan untuk menyebut pendukung Jokowi.

Kampret berarti kelelawar kecil, tapi kata ini sering juga dipakai untuk umpatan, jauh sebelum kata ini dipakai dalam konteks pilpres.

Tidak seperti kata cebong yang bersumber dari Jokowi yang gemar memelihara kodok, masih tidak diketahui kenapa kata kampret yang dipilih untuk menyebut kelompok pendukung Prabowo.

Kaum sumbu pendek

Pentol / pen-tol / nomina (n)

Menurut KBBI, pentol berarti "sesuatu (bentuk) yang menonjol (agak besar); cembul; tombol; kenop". Dalam hal ini, pentol korek atau ujung korek sering digunakan bergantian dengan 'sumbu pendek' yang bersifat mudah tersulut api.

Frasa ini lebih banyak digunakan netizen untuk merujuk pada kalangan fanatik agama yang dianggap 'bersumbu pendek' dan mudah tersulut kemarahannya oleh hal-hal yang dianggap menghina Islam atau ulama.

Kata ini dipakai untuk orang yang mudah marah dan mudah dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu (tetapi kalau dikritik atau diberi masukan akan lebih marah-marah lagi).

Bani micin

me.cin / mècin / nomina

Micin atau mecin, menurut KBBI, merujuk pada garam natrium dari asam glutamat, yang digunakan sebagai penguat rasa.

Namun mecin juga secara luas diyakini punya dampak yang bisa membuat otak rusak atau memperlambat perkembangan kecerdasan pada anak-anak.

'Bani micin' atau 'kaum kebanyakan micin' merujuk pada kelompok yang anti-Jokowi atau kerap menyalahkan Jokowi atas berbagai kebijakan yang diambilnya atau mungkin hal yang, oleh pendukung Jokowi, dianggap tidak ada hubungannya dengan kebijakan Jokowi.

Salah satu yang mempopulerkan dan menggunakan istilah 'bani micin' adalah selebritas media sosial, Denny Siregar, seorang pendukung Presiden Jokowi yang tulisan-tulisannya kerap menghiasi grup WhatsApp Anda.

"IQ 200 sekolam"

Istilah "IQ 200 sekolam" yang juga populer di kalangan warganet ditujukan pada kelompok 'cebong' atau 'cebongers' oleh kubu lawannya. Frasa itu pertama muncul dalam cuitan @rockygerung pada Agustus 2017 lalu, tapi kemudian masih terus muncul dan dikutip luas oleh warganet dalam cuitan-cuitan sesudahnya.

Meski istilah-istilah ini cukup leluasa dilontarkan oleh warganet di media sosial, namun ada juga yang keberatan dengan semakin meluasnya pemakaian istilah-istilah tersebut.

Keberatan dari warganet dari yang soal 'ringan', yaitu bahwa nantinya kata-kata ini akan masuk secara resmi dalam kamus, sampai yang mengatakan bahwa istilah ini hanya untuk melecehkan atau menghina masing-masing kelompok saja.

Warganet lain menggarisbawahi bahwa penggunaan istilah-istilah ini intinya hanya membagi dua warganet pada afiliasi politik tertentu: pro atau anti-pemerintah, bahkan pro-anti Jokowi, pro atau anti Ahok. Dan siapa yang merasa paling benar.

2030

Tahun 2030 mendadak terkenal setelah Prabowo menyatakan bahwa Indonesia akan bubar pada 2030.

"Saudara-saudara, kita masih upacara, kita masih menyanyikan lagu kebangsaan, kita masih pakai lambang-lambang negara, gambar-gambar pendiri bangsa masih ada di sini."

"Tetapi di negara lain, mereka sudah bikin kajian-kajian di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030. Bung, mereka ramalkan kita ini bubar!"

Demikian kata Prabowo dalam acara konferensi dan temu kader nasional Partai Gerindra di Bogor, Jawa Barat, Oktober tahun 2017.

Prabowo Subianto, tidak secara spesifik menyebut nama negara atau 'kajian' yang menyatakan Indonesia bubar tahun 2030.

Akan tetapi, dalam sebuah seminar di Universitas Indonesia pada 18 September 2017, Prabowo menunjukkan tiga buku, salah satunya berjudul Ghost Fleet, karangan August Cole dan P. W. Singer

Wakil Ketua Umum Gerindra Ferry Juliantono, mengakui Ghost Fleet memang menjadi rujukan Prabowo, tapi menegaskan novel fiksi itu bukan satu-satunya referensi.

Jaenudin Nachiro

Nama Jaenudin Nachiro pertama kali diciptakan oleh Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon dalam sebuah puisi berjudul "Jaenudin Nachiro Namamu".

Puisi ini dibuat setelah presiden dituduh salah mengucapkan lirik lagu "Deen Assalam" yang seharusnya "zainuddin yahtirom" menjadi "jaenudin nachiro".

Ketua PPP Romahurmuziy menegaskan bahwa Jokowi tidak salah dan memang mengucapkan "yahtirom".

Puisi Fadli Zon tidak menyebut siapa sebenarnya Jaenudin, tapi Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf menyebut puisi ini sebagai puisi kebencian.

Berikut ini puisi selengkapnya:

Jaenudin Nachiro Namamu

Jaenudin Nachiro namamu
Otak pas-pasan setengah dungu
Matamu menyala merah
Moncong putih berliur ludah

Jaenudin Nachiro namamu
Meniti realita padahal semu
Narasi pandir kosong tak berisi
Membuat malu seantero negeri

Nachiro sulap jadi pembalap
Naik chopper gaya alap-alap
Nachiro bermahkota ala raja
Bicara gagap tak punya data

Nachiro tunjukkan kuasa
Bikin sempurna mau ketawa
Nachiro kerja minus prestasi
Mengigau di tengah mimpi

Nachiro oh Nachiro
Potret zaman sontoloyo

Fadli Zon, Citeureup, Bogor, 5 Des 2018

Unicorn

unicorn / uni-corn / nomina

Dalam debat kedua Pilpres 2019, Presiden Jokowi menanyakan pada saingannya, Prabowo Subianto, apa strateginya untuk mengembangkan unicorn. Prabowo kemudian memastikan apakah unicorn yang dimaksud adalah "yang online-online itu".

Pertanyaan ini kemudian memunculkan meme dan komentar dari warganet soal unicorn.

Hingga kurang dari 2 (dua) hari setelah debat, sudah ada sekitar 135.000 cuitan terkait unicorn.

Yang dimaksud dengan unicorn adalah perusahaan rintisan berbasis teknologi (start-up) dengan taksiran nilai di atas US$1 miliar atau sekitar Rp14 triliun.

Presiden Jokowi mengatakan bahwa ada tujuh unicorn di Asia Tenggara dan empat di antaranya berasal dari Indonesia.

Empat perusahaan start-up yang berlokasi di Indonesia dan sudah mencapai status unicorn itu adalah Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak.

Sementara itu kubu Prabowo menyatakan bahwa Prabowo tidak memahami pertanyaan Jokowi karena pengucapan Jokowi yang dinilai sulit dipahami.

Politik Sontoloyo dan Genderuwo

genderuwo/gen·de·ru·wo/ nomina

Hantu yang konon serupa manusia yang tinggi besar dan berbulu tebal.


Joko Widodo menyebut politik genderuwo dalam pidatonya saat membagikan sertifikat tanah di Tegal, Jawa Tengah, 9 September 2018.

Dia menyebut bahwa saat ini ada politik dengan propaganda menakutkan, yang membuat ketakutan dan kekhawatiran di masyarakat.

"Cara-cara seperti ini adalah cara-cara politik yang tidak beretika. Masa masyarakatnya sendiri dibuat ketakutan? Nggak benar kan? Itu sering saya sampaikan itu namanya 'politik genderuwo', nakut-nakuti," kata Joko Widodo.

Beberapa pekan sebelumnya, Jokowi juga melontarkan istilah "politik genderuwo", juga dalam acara pembagian sertifikat tanah, di Jakarta Selatan.

"Hati-hati banyak politik yang baik-baik, tapi juga banyak sekali politik yang sontoloyo. Ini saya ngomong apa adanya saja sehingga mari kita saring, kita filter mana yang betul dan mana yang tidak betul," kata Jokowi.

Setelah mengeluarkan pernyataan itu, Jokowi mengaku kelepasan.

"Kemarin saya kelepasan, saya sampaikan 'politikus sontoloyo' ya itu. Jengkel saya. Saya nggak pernah pakai kata-kata seperti itu. Karena sudah jengkel ya keluar. Saya biasanya ngerem, tapi sudah jengkel ya bagaimana," kata Jokowi seperti dikutip dari detikcom.

Mukidi

Mukidi mulai dibicarakan warganet pada Agustus 2016. Saat itu, Mukidi adalah karakter fiksi dalam cerita-cerita lucu yang jadi populer di media sosial.

Saat itu, Mukidi dipandang sebagai konten segar yang menghibur warganet di tengah pertengkaran agama, suku, dan politik.

Karakter Mukidi sebenarnya diciptakan oleh Soetantyo Moechlas atau yang akrab dipanggil Yoyo pada tahun 1990an. "Iseng aja pakai nama itu," kata Yoyo kepada BBC Indonesia tahun 2016.

Kala itu, berbagai cerita lawakan dengan tokoh utama Mukidi, yang dikisahkan berasal dari Cilacap dan merupakan "orang biasa-biasa saja, tidak terlalu alim, mudah akrab dengan siapa saja" itu, kerap dikirimkannya ke Radio Prambors.

Meski demikian, kini istilah Mukidi banyak dipakai oleh kubu Prabowo-Sandi sebagai kata ganti untuk menyebut Joko Widodo dan "rezimnya".

(Beberapa hasil mungkin tidak tersaji secara lengkap jika dibuka melalui aplikasi. Silakan buka tautan ini untuk membaca selengkapnya https://bbc.in/2YRFup5)Menurut pengajar dan peneliti di Pusat Kajian Komunikasi UI, Clara Endah Triastuti, kini pengguna internet memang tidak hanya mengkonsumsi konten tapi juga menjadi menciptakan konten.

"Pergerakan politik menurut saya sekarang berubah. Mereka yang melakukan propaganda politik mulai melihat pasar juga dan mulai mengubah bentuk-bentuk propagandanya. Jadi politik itu tidak diletakkan dalam ranah formal, tapi dalam ranah yang populer."