Diperkosa lalu diminta keluar dari sekolah, remaja perempuan yang alami kehamilan tidak diinginkan 'menjadi korban dua kali'

Ilustrasi kasus pemerkosaan anak

Sumber gambar, BBC/Davies Surya

  • Penulis, Nicky Aulia Widadio
  • Peranan, BBC News Indonesia

Seorang remaja perempuan berusia 12 tahun di Banyumas, Jawa Tengah, diminta mengundurkan diri dari sekolah setelah hamil akibat diperkosa delapan orang pelaku. Peristiwa ini menggambarkan bagaimana para remaja perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan “menjadi korban dua kali”.

Para remaja perempuan ini, pada akhirnya rentan mengalami pernikahan dini dan terjerat lingkaran kemiskinan.

“Bapak dari pihak laki-laki tidak ada bekasnya, anak saya sekolahnya hancur, masa depannya enggak tahu bagaimana, risiko melahirkan juga,” kata Wati, bukan nama sebenarnya, ketika mengulang perkataannya kepada keluarga pelaku pemerkosa anaknya.

Wati adalah ibu dari tiga anak di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Keluarganya hidup pas-pasan.

Suaminya berjualan dompet dengan berkeliling di pasar, sedangkan Wati adalah seorang ibu rumah tangga.

Selama ini, dia berharap masa depan ketiga anaknya akan lebih baik. Tetapi, harapan itu seakan dihempaskan pada suatu pagi di penghujung 2022 lalu.

Putri keduanya, Dini (bukan nama sebenarnya) yang baru berusia 12 tahun, hamil.

Kecurigaan itu muncul setelah Dini terlambat menstruasi selama dua bulan. Wati meminta putri sulungnya membeli alat tes kehamilan di apotek. Hasilnya, Dini positif hamil.

Remaja yang baru duduk di bangku kelas 1 SMP itu diperkosa oleh delapan orang pelaku, yang merupakan tetangga-tetangganya. Beberapa di antaranya telah lanjut usia.

Wati dan suaminya kemudian melaporkan kasus ini ke polisi. Namun beberapa waktu setelahnya, keluarga pelaku mendatangi mereka dan meminta agar kasus ini “diselesaikan secara damai”. Wati dengan tegas menolak permintaan itu.

“Nangis batin saya bu.. Saya sebagai orang tua kesal, jangan seperti itu lah, anak saya memang polos, dikasih duit gampang. Jangan seperti itu, bapak-bapak kan jauh lebih dewasa dari anak saya. Kalau masih ngasih uang ngasih aja, tapi bapak-bapak kurang ajar,” ujar Wati, kembali mengulang perkataannya kepada keluarga pelaku dengan nada suara yang meninggi.

Artikel-artikel yang direkomendasikan
Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Dini bercita-cita menjadi seorang guru TK. Tetapi sejak hamil, dia tidak lagi bersekolah.

Perwakilah sekolah lalu mendatangi rumah Wati setelah mendengar kehamilan Dini.

Mereka menyampaikan agar Dini dimutasi ke sekolah lain karena hamil.

"Katanya enggak mungkin sudah kayak gini sekolah normal lagi. Pihak sekolah menyampaikan agar bapak ke sekolah, nanti suruh bikin surat pernyataan pengunduran diri, ya 'dimutasi lah bu'," ujar Wati kepada wartawan Muhammad Fadlan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Pada pertemuan itu, Wati justru meminta maaf kepada pihak sekolah karena merasa “telah mencoreng nama baik sekolah”.

Masih pada hari yang sama, suami Wati segera ke sekolah. Di sana dia diminta membuat surat pernyataan mengundurkan diri. Sekolah tidak memberikan pilihan lain kepada mereka.

"Enggak ada [pilihan lain dari pihak sekolah], suruh kejar paket B gitu aja. Enggak ada misal ini kan lagi hamil nunggu proses lahiran atau bagaimana," kenang Wati.

Di sisi lain, Wati juga tak sampai hati anaknya dirundung karena hamil dan dipandang “telah membuat malu sekolah”.

Sebab, Dini pernah mendapat pesan bernada seperti itu dari teman sekolahnya setelah kabar ini merebak.

“Hancur, rasanya marah, gimana ya. Tapi kalau di sana terus juga tidak mungkin, kalau dipaksa sekolah di situ kan kasihan nanti di-bully teman-temannya," tutur Wati.

"Nomor WhatsApp [Dini] sampai diganti sama kakaknya, karena sudah ada yang ngirim pesan seperti itu, katanya 'kamu malu-maluin sekolahan'. Kalau tidak diganti nanti banyak yang WA, itu baru satu orang, mengantisipasi biar enggak jadi beban pikiran," sambungnya.

Dini pun kini lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menonton televisi di rumah, sambil sesekali mengontrol kehamilannya ke puskesmas.

Baru setelah kasus ini disorot banyak pihak, pihak sekolah kembali datang ke rumah mereka dan meminta maaf.

“Katanya [mereka] siap memfasilitasi mencarikan sekolah kejar paket B,” tutur Wati.

Namun soal bagaimana kepastian ke depannya, Wati sendiri mengaku masih bingung dan untuk saat ini masih fokus mengurus kehamilan Dini.

Dini bukan satu-satunya yang mengalami hal itu. Pada awal 2023, seorang siswi kelas enam SD di Binjai, Sumatera Utara diusir oleh warga dan putus sekolah setelah diketahui hamil akibat diperkosa.

Pada 2021, dua santriwati korban pemerkosaan guru pesantren di Garut dikeluarkan dari sekolah setelah ketahuan memiliki bayi.

Ancaman putus sekolah juga mengintai remaja perempuan yang hamil akibat hubungan konsensual di luar pernikahan.

Persoalan ini juga erat kaitannya dengan tingginya angka pernikahan dini di Indonesia.

Di Bangka Belitung misalnya, sebanyak 451 siswa SMA putus sekolah pada 2019-2021 karena mengalami kehamilan tidak diinginkan atau pernikahan dini.

Kemudian pada Januari 2023, ratusan remaja di Ponorogo mengajukan dispensasi pernikahan dini dengan alasan telah hamil.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengaku tidak memiliki data lebih spesifik soal berapa banyak anak yang putus sekolah akibat hamil.

Namun situasi sebenarnya mungkin bisa tergambar melalui sejumlah data lainnya.

Survei Demografi dan Kesehatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017 menunjukkan bahwa 36 kelahiran dari setiap 1.000 kasus terjadi pada remaja berusia 15-19 tahun. Namun, tidak dirinci apakah ini termasuk kehamilan yang tidak direncanakan.

Sementara itu, Badan Peradilan Agama (Badilag) mencatat bahwa terdapat 13.000 dispensasi nikah yang diterbitkan sepanjang 2022 dengan alasan anak telah hamil lebih dulu.

Peneliti Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia, Andrea Anjaringtyas Adhi mengatakan bahwa remaja yang menikah dini kemungkinan besar juga putus sekolah.

Sebaliknya, remaja yang putus sekolah akibat kehamilan yang tidak direncanakan pun juga rentan menikah dini.

‘Saya disadarkan kalau nikah bukan solusi’

Cindy, bukan nama sebenarnya, masih ingat betul betapa harunya dia ketika akhirnya diwisuda dari sebuah perguruan tinggi swasta di Semarang, Jawa Tengah.

“Enggak nyangka aku bisa lulus padahal awalnya udah merasa enggak mungkin... Enggak mungkin aku bisa lanjutin kuliah,” kata Cindy, 23 tahun, kepada wartawan Nonie Arnee yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Empat tahun yang lalu, Cindy menyadari bahwa dia hamil dengan pacarnya saat itu.

Beragam jalan keluar sempat terlintas di kepalanya. Mulai dari aborsi, berhenti kuliah, bahkan menikah. Namun orang tua Cindy, meski terpukul, menolak apabila Cindy menikah di usia muda.

Orang tuanya kemudian membawa Cindy ke Griya Welas Asih, sebuah rumah singgah bagi remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Semarang.

Di rumah singgah itu, Cindy menetap sampai melahirkan anaknya. Di sana dia mendapat pendampingan psikologis, kontrol kandungan, serta penguatan rohani.

“Saya banyak disadarkan kalau menikah itu bukan solusi, bukan jalan keluar. Bahkan bisa jadi kalau saya benar-benar nikah saya enggak mungkin bisa jadi seperti sekarang ini, saya bisa melanjutkan kuliah, bisa melanjutkan kerja,” kata Cindy.

Bagi Cindy, proses yang dia lalui untuk bangkit dan menata kembali hidupnya sama sekali tidak mudah.

Dia merasa "mustahil" bisa melanjutkan kuliah, namun juga khawatir dengan masa depannya apabila putus kuliah.

“Saya bingung, enggak kepikiran untuk kuliah lagi. Sudah punya anak mosok lanjutin kuliah, masuk semester empat waktu itu,” kenang Cindy.

Griya Welas Asih

Sumber gambar, Nonie Arnee

Butuh waktu berbulan-bulan bagi Cindy untuk akhirnya memutuskan bahwa dia akan merawat anaknya sendiri.

Salah satu hal yang dia khawatirkan pada saat itu adalah sanksi sosial dan stigma yang akan dia dapat dari keluarga besar dan lingkungan sekitarnya.

Itu yang membuat Cindy sempat menitipkan bayinya di Griya Welas Asih selama delapan bulan.

“Keluarga saya bingung karena keluarga besar tidak ada yang tahu. Griya Welas Asih bantu ngasih solusi juga, akhirnya dapat solusi terbaik. Akhirnya anak saya ada di rumah saya,” kata dia.

Seperti yang telah dia perkirakan, Cindy mengatakan kepulangannya bersama seorang bayi sempat "membuat gempar" dan menjadi "bahan omongan tetangga".

Tetapi kehadiran anaknya pula yang menguatkannya untuk kembali melanjutkan kuliah.

“Aku harus berusaha, nanti anak itu mau seperti apa ke depannya, buat masa depannya juga,” kata dia.

Perlahan Cindy menata kembali hidupnya. Dia berhasil wisuda dan kini bekerja sebagai analis di bidang kesehatan.

Kedua orang tuanya sangat menyayangi cucu mereka. Gunjingan dari para tetangga pun perlahan memudar.

Cindy mengaku bersyukur bahwa dia tidak memilih menikah muda dan memprioritaskan pendidikannya.

“Teman saya banyak yang mengambil jalan menikah, sekarang hidupnya ngeri, enggak lanjut sekolah karena dia harus memikirkan keluarga. Suaminya enggak kerja, jadi yang banting tulang ya teman saya. Enggak kebayang kalau dulu saya jadi menikah akan seperti apa,” kata Cindy.

“Awalnya memang sedih karena dilihat orang-orang, tetangga mikir seperti apa, tapi lama-lama ya sudah. Tetap semangat saja, yang penting kita sebagai perempuan yang sudah pernah gagal bisa menunjukkan ke orang lain kalau ternyata kita bisa,” ujarnya.

'Mereka harus diberi jalan keluar'

Pendiri Griya Welas Asih, Rosa Amaya menyadari bahwa banyak remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan ini perlu diberi kesempatan untuk menata kembali hidupnya.

Rumah singgah ini dia dirikan bersama rekannya, Ruth, pada 2018.

Inisiatif itu datang setelah mereka melihat banyak kasus kehamilan remaja yang berujung pada pernikahan dini, aborsi, dan penelantaran anak.

Sudah ada 48 perempuan berusia 14-25 tahun yang pernah singgah di Griya Welas Asih selama hampir lima tahun.

Lebih dari 100 remaja perempuan yang membutuhkan pertolongan terpaksa mereka tolak karena terbatasnya tempat dan fasilitas.

Mereka yang datang dan meminta pertolongan biasanya berada dalam posisi rentan, seperti berasal dari keluarga miskin, korban kekerasan seksual, terancam dinikahkan, atau menghadapi sanksi sosial yang buruk.

"Anak-anak ini kalau dikawinkan juga belum cocok, bagaimana caranya, mereka harus diberi jalan keluar," kata Rosa.

Selama di panti, mereka diberi makanan dengan gizi yang cukup, pendampingan psikologis, dan kontrol rutin dengan dokter spesialis kandungan.

Menurut Rosa, para remaja ini juga dibantu untuk tetap melanjutkan pendidikan mereka melalui program kejar paket.

Biayanya ditanggung oleh Griya Welas Asih melalui bantuan para donatur.

"Hampir semua anak-anak yang masuk sini sudah kejar paket. Jadi mereka pulang tidak putus sekolah dan tinggal melanjutkan saja. Ini sangat membantu, paling tidak mereka tidak tinggal kelas," tutur Rosa.

Mereka juga dibekali dengan sejumlah keterampilan seperti menyulam, menjahit, hingga membuat kue.

"Tujuannya kalau mereka keluar mereka bisa menjadi single parent, kalaupun mereka pada akhirnya putus sekolah dan ingin merawat anaknya ya mereka bisa mandiri.

"Kalau generasi ini putus dan tidak ditolong ya 10 tahun kemudian akan melahirkan generasi-generasi yang seperti apa? Orang-orang tertolak," ujar Rosa.

Ilustrasi pemerkosaan anak

Sumber gambar, BBC/Davies Surya

Mengapa remaja hamil kesulitan lanjutkan pendidikan?

Menurut Andrea dari Puskapa UI, regulasi yang ada sebetulnya telah menjamin bahwa para remaja yang hamil ini tetap berhak mendapatkan pendidikan.

Di DKI Jakarta misalnya, Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2013 menjamin bahwa siswi yang hamil tidak boleh dikeluarkan dari sekolah. Sejumlah daerah yang lain juga memiliki aturan serupa.

Begitu pula di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat yang membolehkan remaja yang hamil untuk kembali bersekolah di Sekolah Menengah kejuruan (SMK) dengan Sumber Daya Kemanusiaan dan Kesehatan (SDMK) setelah melahirkan, bahkan juga diizinkan untuk membawa anaknya.

Namun menurut Andrea, kenyataannya di lapangan masih menunjukkan bahwa pemenuhan hak pendidikan para remaja yang hamil ini belum benar-benar dipastikan secara menyeluruh.

Apalagi di tengah stigma dan sanksi sosial terhadap remaja yang hamil masih begitu lekat.

"Perlu diurai bagaimana mindset sekolah-sekolah ini. Jangan sampai berpikir 'nanti enggak enak dilihat orang, kalau sekolah ada yang hamil'. Untuk kepentingan siapa sih sekolah itu? Kalau enggak enak tuh enggak enak sama siapa? Itu kan berangkat dari stigma," kata Andrea.

Kalaupun sekolah tidak mengeluarkan siswi yang hamil, stigma semacam itu pula yang membuat mereka enggan kembali ke sekolah.

Ditambah lagi kondisi pasca-melahirkan yang belum tentu ideal bagi mereka untuk bisa melanjutkan pendidikan.

Sebab, banyak pula remaja yang mengalami kasus semacam ini berasal dari keluarga miskin.

Pernikahan dini juga masih sering dipilih sebagai solusi semu yang pada akhirnya membuat anak terjerat dalam lingkaran kemiskinan dan kekerasan.

Oleh sebab itu, Andrea menilai penanganan remaja yang mengalami kehamilan tak diinginkan tidak cukup hanya dengan menyarankan anak yang putus sekolah untuk melanjutkan pendidikannya lewat program kejar paket.

"Kalaupun dia boleh kembali ke sekolah setelah melahirkan, siapa yang menjamin bahwa mereka akan kembali? Siapa yang memastikan itu?" kata Andrea.

"Kebutuhan mereka secara menyeluruh juga perlu didengarkan. Mulai dari dukungan pengasuhan anaknya, lalu ruang yang nyaman agar mereka juga mau melanjutkan pendidikannya.

"Mencegah itu kan bukan hanya mencegah anak tidak boleh nikah dan putus sekolah sama sekali, tapi juga menangani anak ini secara menyeluruh."

Perlukah sekolah khusus ibu remaja?

Sejumlah negara memilih membuka sekolah yang dikhususkan untuk para remaja hamil atau ibu muda demi memenuhi hak pendidikan mereka.

Sekolah khusus remaja hamil telah dibuka di Malaka, Malaysia sejak 2010 karena tingginya angka kehamilan remaja dan penelantaran bayi.

Di Texas, Amerika Serikat, sebuah SMA negeri menjadi tempat bagi para remaja yang mengalami kehamilan tidak direncanakan untuk lanjut bersekolah.

SMA itu bahkan menyediakan fasilitas pendukung seperti pusat penitipan anak gratis.

Kenya juga telah memiliki sekolah khusus seperti ini, yang merupakan satu-satunya sekolah khusus remaja hamil di negara itu.

Pemerhati anak sekaligus mantan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan solusi serupa mungkin saja juga diterapkan di Indonesia.

"Ini kan tergantung cara berpikir pemerintahnya, negara hadir karena negara punya perspektif anak. Dia mengerti bahwa ini kesalahannya bukan pada si anak, tidak bisa ditimpakan pada si anak, negara sadar itu," kata Retno.

Namun beberapa waktu lalu, ketika video dari seorang siswi yang membawa anaknya ke sekolah viral di media sosial, timbul pro dan kontra.

Sebagian mengapresiasi sekolah yang mengutamakan hak pendidikan anak, namun sebagian lainnya menganggap hal itu "menormalisasi kehamilan remaja".

Sedangkan menurut Retno, menyediakan sekolah khusus semacam ini bukan berarti menormalisasi kehamilan remaja.

"Ini justru akan menyelamatkan negara, karena anak-anak ini anaknya rentan gizi buruk, miskin, jadi lebih baik memberdayakan mereka. Orang-orang enggak bakal berpikir 'ah gue hamil ah'," tutur dia.

Bagaimanapun, Retno mengatakan kasus kehamilan remaja tidak bisa ditimpakan sebagai kesalahan anak semata, sehingga mereka diberi sanksi dan seolah tidak berhak menata kembali kehidupannya.

Apalagi banyak kasus kehamilan remaja juga dipicu oleh minimnya pendidikan seksual yang diterima anak.

Selama stigma itu masih melekat, Retno mengatakan remaja yang hamil akan menjadi korban dua kali.

"Jadi walaupun dia hamil pada usia remaja, kehamilan tidak diinginkan, apalagi diperkosa, pastinya dia korban. Masa mau kita korbankan lagi?" ujar Retno.

Penanganan 'belum optimal'

Pelaksana tugas Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Rini Handayani mengakui bahwa "cukup banyak" remaja yang hamil dan putus sekolah.

"Kalau yang putus sekolah itu konkretnya kami tidak mendata, tapi yang saya temui anak-anak itu memang tidak tertangani hak pendidikannya, ini yang kami dorong pemerintah daerah karena yang bertanggung jawab penuh dulu adalah pemerintah daerah," kata Rini ketika dihubungi.

Merespons data Badilag dan kasus yang baru-baru ini terjadi, Rini mengatakan akan merespons cepat agar pemenuhan hak pendidikan mereka bisa optimal.

Sejauh ini opsi yang dimiliki oleh pemerintah adalah menyediakan layanan pendidikan jarak jauh atau melalui program kejar paket.

Khusus untuk remaja yang hamil akibat kekerasan seksual, Rini mengatakan KPPPA dan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi akan merevisi Peraturan Mendikbudristek Nomor 82 Tahun 2015 untuk kembali memperkuat jaminan hak pendidikan mereka dipenuhi.

Pemerintah, kata Rini, juga berjanji akan mencari opsi alternatif lain yang lebih berpihak pada kepentingan remaja yang hamil.