Tikus, tulang dan lumpur: Makanan tumpuan orang-orang yang putus asa di tengah kelaparan

  • Swaminathan Natarajan
  • BBC World Service
Ibu dan anak di Somalia

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Banyak anak menderita masalah kesehatan serius karena kelaparan di Somalia

Kelaparan, kemiskinan, perang dan penyakit - adalah beberapa faktor yang bisa mengubah drastis makanan yang kita konsumsi.

Dalam kondisi yang ekstrem, orang-orang yang putus terpaksa memakan lumpur, buah kaktus, bunga, tikus, tulang belulang atau kulit binatang, agar bertahan hidup.

Kelaparan yang parah, kurang gizi dan malnutrisi menjadi tantangan sehari-hari di berbagai belahan dunia dan skalanya sangat besar:

Badan pangan PBB mengatakan "sebanyak 828 juta orang tidur dalam kondisi lapar setiap malam" dan "345 juta menghadapi kerawanan pangan akut".

BBC berbincang dengan empat orang dari berbagai belahan dunia yang mengalami kelaparan ekstrem dan bertanya pada mereka cara mereka bertahan hidup.

Baca juga:

'Tikus adalah satu-satunya daging yang saya mampu dapatkan'

"Saya sudah makan tikus sejak kecil dan tak pernah mengalami masalah kesehatan. Saya memberi makan tikus kepada cucu saya yang berusia dua tahun. Kami terbiasa dengan itu," tutur Rani yang tinggal di India bagian selatan.

Perempuan berusia 49 tahun itu tinggal di dekat Chennai, dan merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang paling termarjinalkan di India - dia meninggalkan bangku sekolah di tahun ke-limanya.

Dalam kultur India yang punya hierarki kasta, orang-orang seperti Rani selama bertahun-tahun menderita karena diskriminasi.

Rani menyiapkan makanan olahan daging tikus

Sumber gambar, Rani

Keterangan gambar, Rani memakan daging tikus sedikitnya dua kali dalam sepekan

Rani bekerja untuk sebuah LSM yang menyelamatkan orang-orang komunitasnya - Irula - yang terjebak sebagai buruh yang terikat.

"Kami selalu tinggal di luar kota atau di desa-desa. Orang tua dan kakek-nenek berkata pada kami bahwa suatu kali mereka tak punya apa-apa untuk dimakan - bahkan hanya sekedar umbi-umbian. Di masa-masa sulit itu, tikus menjadi makanan yang sangat dibutuhkan," kata Rani kepada BBC.

"Saya belajar menangkap mereka sejak usia sangat muda."

Kemampuan untuk bertahan hidup yang dia dapat ketika kecil membantu dia dan keluarganya saat ini demi mencukupi asupan makanan - mereka memasak tikus setidaknya dua kali dalam sepekan.

Komunitas Irula mengonsumsi spesies tikus yang ditemukan di sawah, bukan tikus yang ditemukan di rumah-rumah.

Komunitas Irula memakan tikus dan nasi

Sumber gambar, Rani

Keterangan gambar, Rani memasak tikus untuk berbagai macam masakan.

"Kami menguliti tikus dan memanggang dagingnya dalam api, kemudian memakannya. Sesekali kami memotongnya dalam potongan kecil dan memasaknya dengan daun lentik dan saus asam," tutur Rani.

Biji-bijian yang disembunyikan oleh tikus di liangnya juga dikumpulkan oleh komunitas Irula untuk kemudian dimakan.

"Saya hanya bisa makan ayam atau ikan sebulan sekali. Tikus banyak tersedia dan gratis," tambahnya.

'Saya minum air berlumpur dan melihat orang memakan bangkai'

PBB berkata Somalia menghadapi kelaparan yang parah dan kekeringan yang melanda negara itu saat ini adalah yang terburuk dalam 40 tahun terakhir telah menyebabkan lebih dari satu juta warga mengungsi.

Sharifo Hassan Ali, ibu berusia 40 tahun dengan tujuh anak adalah salah satu dari mereka yang mengungsi.

Dia terpaksa meninggalkan desanya dan menempuh perjalanan lebih dari 200 km - sebagian besar dengan berjalan kaki - dari kawasan Lower Shabell ke pengungsian sementara di pinggir ibu kota Mogadishu. Perjalanan itu ditempuhnya dalam waktu lima hari.

Sharifo Hassan Ali dan anak-anaknya

Sumber gambar, Abdulkadir Mohamed/NRC

Keterangan gambar, Sharifo Hassan Ali menuturkan beberapa orang memakan bangkai dari binatang yang telah lama mati

"Dalam perjalanan itu kami hanya makan sekali sehari. Ketika tak ada cukup makanan, kami hanya memberi makan anak-anak dan kami kelaparan," katanya.

Dalam perjalanan ke ibu kota, dia menyaksikan beberapa adegan yang mengejutkan.

"Sungai mengering sepenuhnya. Hanya ada sedikit air yang mengalir, jadi kami terpaksa minum air berlumpur," tutur hassan Ali.

"Saya menyaksinkan ratusan binatang yang mati dalam perjalanan ke Mogadishu. Orang-orang bahkan memakan bangkai dan kulit binatang."

Dulu Hassan Ali memiliki 25 sapi dan 25 kambing. Tapi hewan-hewan itu mati karena kekeringan.

"Tak ada hujan dan tak ada yang tumbuh di peternakan saya," ujarnya.

Aerial image of a camp of internally displaced people near Mogadishu

Sumber gambar, Abdulkadir Mohamed/NRC

Keterangan gambar, Lebih dari satu juta orang mengungsi karena kekeringan yang melanda Somalia

Dia kini hanya mendapat sekitar Rp30.000 setiap harinya dari upah mencuci baju milik orang lain - namun uang sebesar itu tak cukup untuk membeli makanan.

"Saya tak bisa membeli satu kilogram nasi dan sayur dengan uang itu, dan itu tak pernah cukup untuk semua orang. Kekeringan ini sangat kejam bagi kami."

Dia mendapat bantuan dari badan amal, namun dia juga mengungkapkan bahwa itu tak cukup.

"Kami tidak punya apa-apa," kata Hassan Ali.

'Keluarga saya bergantung pada kulit dan tulang hewan yang dibuang'

Sejak dua tahun terakhir, Lindinalva Maria da Silva Nascimento, nenek berusia 63 tahun dari Sao Paulo, Brasil, telah mengonsumsi tulang dan kulit hewan yang dibuang oleh pedagang daging lokal.

Pensiunan ini hanya punya sekitar Rp60.000 tiap hari untuk membeli makanan bagi dirinya, suaminya, seorang putra dan dua cucu.

Dia tak mampu membeli daging, maka dia mendatangi pedagang daging dan membeli tulang belulang dan kulit ayam. Untuk mendapatkan itupun dia harus merogoh koceknya sekitar Rp10.000 per kilogram.

"Saya memasak tulang dengan sedikit daging yang masih tertinggal di kulit. Saya menambahkan kacang-kacangan untuk menambah rasa."

Kulit ayam tersebut, katanya, digoreng tanpa minyak dan lemak yang terkumpul disimpan.

Lindinalva standing in front of her fridge

Sumber gambar, FELIX LIMA/ BBC NEWS BRASIL

Keterangan gambar, Lindinalva berkata tak ada apa-apa di kulkasnya

Lindinalva menyimpannya di toples mayones kosong dan memakainya untuk menggoreng makanan di kemudian hari.

"Saya bahkan tak bisa membeli buah, sayur dan manisan. Sebelumnya, saya punya lemari pendingin yang penuh dengan daging dan sayuran, serta kulkas yang terisi kubis, tomat, bawang, ada banyak sekali," tuturnya.

"Hari ini, [kulkas] itu kosong dan satu-satunya yang saya punya adalah satu bawang di mangkuk buah."

Lindinalva kehilangan mata pencaharian karena pandemi dan putranya juga menganggur.

"Saya bergantung pada donasi makanan dari orang-orang yang saya kenal dan bantuan dari Gereja Katolik setempat. Itulah bagaimana saya bertahan hidup," jelasnya.

Lindinalva memotong daging

Sumber gambar, BBC

Keterangan gambar, Lindinalva mengaku kesulitan mendapatkan makanan, bahkan hanya sekedar daging sisa

Lebih dari 33 juta orang di Brazil hidup dalam kelaparan, menurut laporan terbaru yang disusun oleh Brazilian Network for Food Security.

Penelitian terbaru yang dirilis Juni silam itu juga menemukan lebih dari setengah populasi Brasil menderita kerawanan pangan.

"Pedagang daging sering berkata mereka tak punya tulang," keluh Lindinalva.

Dia menambahkan bahwa dia harus menekan porsi makannya demi mengamankan persediaan makanan.

"Saya bertahan juga karena keyakinan saya bahwa semuanya akan membaik pada suatu titik."

'Saya dan anak-anak saya bertahan dengan buah kaktus merah'

"Tak ada hujan dan tak ada panen. kami tak punya apa-apa untuk dijual. Kami tak punya uang. Saya tak mampu memakan nasi."

Fefiniaina adalah ibu muda berusia 25 tahun dengan dua anak yang tinggal di Madagaskar, pulau yang terletak di Samudra Hindia.

Curah hujan yang rendah selama dua tahun terakhir telah menghancurkan persawahan dan memusnahkan ternak.

Ini juga membuat lebih dari satu juta orang menuju kelaparan, menurut PBB.

Fefiniaina dan anaknya

Sumber gambar, Unicef/Rakoto/2022

Keterangan gambar, Buah kaktus membuat anak Fefiniaina mengalami diare

Fefiniaina tinggak di kota Amboassary, salah satu yang paling terdampak kekeringan di Madagaskar.

Dia dan suaminya hidup dengan menjual air.

"Saat saya mendapat uang, saya membeli beras atau singkong. Ketika saya tak punya apa-apa saya terpaksa makan buah kaktus merah dan tidur dengan rasa lapar," ujarnya kepada BBC melalui penerjemah UNICEF.

"Kebanyakan orang-orang di sini makan buah kaktus. Rasanya sedikit seperti asam."

"Kami telah memakannya sejak empat bulan terakhir dan kini kedua anak saya menderita diare."

Fefiniaina having a meal based on cactus fruit

Sumber gambar, Unicef/Rakoto/2022

Keterangan gambar, Fefiniaina menambahkan saus asam ke hidangan buah kaktus

Badan Pangan PBB melaporkan tahun lalu di Madagaskar bagian selatan, "orang-orang makan "Orang-orang makan daun kaktus, akar liar, hanya untuk menenangkan rasa lapar mereka."

Buah itu mungkin membantu keluarga Fefiniaina bertahan hidup, tapi buah itu tidak mengandung vitamin dan mineral yang mereka butuhkan.

Anaknya yang berusia empat tahun adalah salah satu di antara anak-anak yang mendapat perawatan karena malnutrisi.

"Bahkan jika kita memiliki sedikit hujan, kita bisa mendapatkan panen. Kita bisa makan ubi, singkong, dan buah-buahan," kata Fefiniaina.

"Dan kita tidak perlu makan buah kaktus."

Short presentational grey line

Badan Pangan Dunia (WFP) berkata bahwa kelaparan yang melanda dunia saat ini lebih buruk dari sebelumnya.

Badan itu menyebut penyebab "krisis kelaparan seismik" yang terjadi saat ini karena empat faktor: konflik, guncangan iklim, konsekuensi ekonomi dari pandemi Covid-19 dan kenaikan biaya.

"Biaya operasional bulanan WFP adalah US$73,6 juta (Rp1,1 triliun) di atas rata-rata 2019 - melonjak drastis sebesar 44 persen," kata laporan tahun 2022.

"Biaya tambahan yang sekarang dihabiskan untuk biaya operasi sebelumnya akan memberi makan empat juta orang selama satu bulan."

Tetapi organisasi itu mengatakan bahwa uang saja tidak akan mengakhiri krisis: kecuali ada kemauan politik untuk mengakhiri konflik dan komitmen untuk menahan pemanasan global, "pendorong utama kelaparan akan terus berlanjut," laporan itu menyimpulkan.

(Laporan tambahan oleh Felipe Souza)