'Warga tak keberatan keberadaan Patung Maria' di Kulon Progo, Kemenag dan polisi bantah ada desakan ormas
- Penulis, Muhammad Irham
- Peranan, BBC News Indonesia
Video penutupan patung Bunda Maria dengan terpal di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa Santo Yakobus yang terletak di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, viral di media sosial. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Warga di sekitar Dusun Degolan, Kulon Progo, Yogyakarta mengaku tidak keberatan dengan keberadaan Patung Bunda Maria di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa ST. Yacobus. Klaim ini disampaikan Ketua RW setempat.
Ia juga mengatakan kelompok ormas yang bukan dari warga sekitar, dua kali datang dan menyampaikan penolakan keberadaan Patung Maria.
Namun, pejabat Kementerian Agama (Kemenag) mengatakan penutupan patung tersebut bukan karena paksaan dari ormas, melainkan kehendak pemiliknya sendiri. Klaim yang juga sempat disampaikan oleh polisi ini diragukan sebagian warganet.
Lembaga pemerhati kebebasan beragama dan berkeyakinan menilai insiden intoleransi ini sebagai bagian dari rentetan upaya politisasi identitas jelang Pilpres 2024.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Ketua RW 28 Dusun Degolan, Wagino, mengatakan sudah dua kali kedatangan kelompok ormas yang menyatakan keberatan dengan Patung Maria di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa ST. Yacobus.
Sekitar 20 orang dengan seragam paramiliter dan menggunakan topi merah berkumpul di Masjid Al-Barokah yang letaknya berseberangan dengan Rumah Doa, kata Wagino.
Mereka konvoi dengan satu mobil dan sejumlah sepeda motor, Sabtu (11/03).
Saat itu sedang ada penyerahan pengelolaan Rumah Doa dari pemilik ke pihak paguyuban setempat.
Wagino memastikan tak ada satu pun dari konvoi ini adalah warganya. “Yang bicara dengan saya dari Lempuyangan [Kota Yogyakarta],” katanya.
“Seminggu kemudian datang lagi, tiga mobil,” kata Wagino.
Ketua RT 61, Purwaka, yang bertanggung jawab di wilayah ini juga mengakui tak ada satu pun warganya yang menjadi bagian dari ormas tersebut.
Di pertemuan kedua tersebut, Purwaka mengatakan menerima mereka.
“Datang 10 sampai 15 orang ke sini. Datang mampir Salat Dzuhur. Bilang ingin membantu warga, katanya ada unek-unek keberatan dengan patung,” jelas Purwaka.
Hanya beberapa hari setelah kedatangan ormas tersebut, lanjut dia, Patung Maria di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa ST. Yacobus langsung ditutupi terpal.
“Yang menutup pemiliknya. Saya melihat [sendiri]. Yang menutup empat orang. Tukang-tukang, dengan bosnya,” kata Wagino.
‘Warga tidak masalah’
Wagino yang sekarang berusia 70 tahun mengatakan baru kali ini menghadapi insiden intoleransi di wilayahnya. “Saya 50 tahun di sini nggak ada apa-apa, baru kali ini,” katanya.
Menurutnya, Rumah Doa yang dibangun sejak tahun lalu sudah melewati wawanrembug serta memperoleh persetujuan warga setempat.
“Warga setuju. Pembangunan patung sudah dirembug. Ada rapat, musyawarahnya,” katanya, sambil menambahkan, “Yang mempermasalahkan orang yang fanatik mungkin.”
Sementara itu, Ketua RT 61, Purkawa juga mengatakan telah terjadi kesepakatan-kesepakatan terkait pembangunan Rumah Doa.
Tapi, ia mengatakan kesepakatan tersebut mengalami kebuntuan di akhir tahun, kemungkinan ada warga yang mengadu ke ormas karena patung yang berdiri terlalu mencolok, “karena dekat Masjid”.
Namun, BBC Indonesia tak bisa memverifikasi keterangan ini.
Dalam rancangan perjanjian yang diterima BBC Indonesia, disebutkan juga bahwa Rumah Doa tersebut tidak akan berkembang menjadi gereja.
Pendiri Rumah Doa, yaitu Yakobus Sugiyarto juga berjanji akan memberikan mobil ambulans, peti jenazah dan keranda gratis bagi warga Dusun Degolan.
Di tempat terpisah, Sutarno, Kontraktor Rumah Doa Sasana Adhi Rasa ST. Yacobus enggan memberikan keterangan.
Saat ditemui di tepi jalan Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten Kulon Progo, Sutarno mengaku hanya sebagai pihak yang membangun rumah doa itu.
"Saya bukan pengelola. Pengelolanya beda orang. Pengelola diserahkan ke paguyuban. Saya lupa namanya," kata Sutarno seraya menutup pintu mobil.
Pernyataan Kementerian Agama dan polisi
Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu
Episode
Akhir dari Podcast
Dalam video yang kemudian viral itu, disebutkan bahwa aksi penutupan patung karena adanya desakan dari ormas.
Dikatakan pula, ada ormas yang keberatan karena keberadaan patung itu "mengganggu kekhusyukan umat Muslim saat beribadah Ramadan".
Belakangan, plt. Dirjen Bimas Katolik Kementerian Agama A.M. Adiyarto Sumardjono mengatakan penutupan patung bukan karena paksaan dari ormas, melainkan kehendak pemiliknya sendiri.
“Patung Bunda Maria itu ditutup oleh pemiliknya sendiri atas pertimbangan pribadi dan juga lewat dialog yang beberapa kali dibuat bersama FKUB, Kepolisian, Kemenag, Lurah, RT/RW, dan pihak-pihak terkait,” kata Adiyarto dalam pernyataan tertulis yang diunggah di situs web Kemenag, Jumat (24/03).
Menurut Adiyarto, Sasana Adhi Rasa belum diberkati dan mendapat izin dari Kevikepan Yogyakarta Barat, Keuskupan Agung Semarang.
“Artinya tempat doa ini dan patung Bunda Maria sebagai tempat religi Katolik mungkin belum memenuhi syarat pendirian sebuah taman doa atau tempat ziarah atau religi Katolik,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pemilik rumah doa tersebut memutuskan untuk menutup sementara tempat itu untuk "mempercantik" dengan berbagai renovasi.
Sebelumnya, Kapolres Kulon Progo, AKBP Muharomah Fajarini mengklarifikasi kalau anak buahnya "salah paham“ ketika membuat laporan penutupan Patung Bunda Maria di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa S.T Yacobus pada Rabu (22/03) — sehari sebelum memasuki bulan puasa.
"Mohon maaf atas anggota kami yang salah dalam penulisan narasi,“ kata Fajarini dalam keterangan kepada wartawan, Kamis malam (23/03).
Namun, sejumlah warganet menunjukkan reaksi skeptis terhadap keterangan tambahan polisi.
Akun @lusyant misalnya menantang keterangan kepolisian Kulon Progo.
Artikel ini memuat konten yang disediakan Twitter. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Twitter kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah 'terima dan lanjutkan'.
Lompati Twitter pesan, 1
Akun @Nyi_Maheswari pun ikut menimpali, apa yang ia sebut keterangan ini sebagai "Dagelan tingkat Upin Ipin“.
Artikel ini memuat konten yang disediakan Twitter. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Twitter kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah 'terima dan lanjutkan'.
Lompati Twitter pesan, 2
Dalam keterangannya, Fajarini juga mengatakan, "bahwa tidak ada ormas yang mengganggu keamanan dan ketentraman.“
"Bila ada ormas yang mengganggu keamanan, kenyamanan, ketentraman, khususnya di Kulon Progo akan kami tindak,“ kata Fajarini.
Fajarini juga mengeklaim penutupan patung setinggi enam meter itu atas kerelaan pemiliknya, tanpa ada tekanan.
"Inisiatif untuk menutup dengan menggunakan terpal tersebut, adalah murni dari pemilik rumah doa.
Dan, yang melakukan penutupan adalah dari keluarga dalam hal ini adalah adik kandung dari pemilik rumah doa,“ kata Fajarini.
Politik agama di tahun politik
Wakil Dewan Nasional SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos ikut menyangsikan keterangan polisi bahwa penutupan Patung Maria di Kulon Progo tanpa ada tekanan ormas intoleran.
Sikap ini, kata dia, umumnya ditunjukkan dalam kasus-kasus intoleransi di mana kelompok minoritas menghadapi mayoritas di Indonesia.
Baca Juga:
- Presiden Jokowi peringatkan 'hati-hati' polemik izin rumah ibadah, pegiat: ‘tapi aturan intoleran masih dipertahankan menterinya’
- Ketua RT jadi tersangka karena bubarkan ibadah gereja Lampung: 'Berharap kelompok intoleran jera'
- Pendirian gereja ditolak: Penantian 15 tahun jemaat, warganet pertanyakan langkah wali kota, 'inikah namanya toleransi?
"Minoritas merasa bahwa mereka harus 'tahu diri‘, mereka bukan hanya dalam jumlah kecil tetapi juga menyadari bahwa perlindungan negara terhadap mereka juga minimal," kata Tigor.
Dalam hal ini kepolisian lebih "cari jalan selamat", tambah Tigor.
Insiden penutupan dengan terpal Patung Maria merupakan deretan dari "eskalasi intoleransi" di tahun politik.
"Jadi kelompok intoleran mencari simpati, dukungan dari publik…. kemudian mereka memainkan isu politik identitas dengan harapan perlahan bergulir dukungan itu. Pada saatnya di 2024, dukungan publik bisa mereka dapatkan,“ kata Tigor.
Lembaga ini memberi contoh upaya politisasi dari kasus-kasus intoleransi belakangan ini, seperti penolakan keikutsertaan Timnas Israel dalam gelaran Piala Dunia U-20 di Indonesia pada Mei mendatang.
Lalu, aksi Koalisi Palembang Darussalam di Gereja Katedral Santa Maria Palembang, yang menolak kedatangan Duta Besar Vatikan ke Palembang dengan alasan Palembang adalah daerah mayoritas Muslim.
“Dan, pemerintah serba salah. Kalau dituduh pemerintah lebih mementingkan kelompok minoritas, [lalu dituduh] tidak berpihak pada Islam. Ini isu sensitif,” kata Tigor yang menyebut posisi pemerintah "tersandera politik identitas".
Bagaimanapun, kata Tigor, jalan keluarnya sederhana: Tetap berpegang pada hukum.
“Kalau itu memang sudah melanggar hukum, pemerintah jangan ragu-ragu. Tapi kalau itu masih bisa dikelola dengan dialog, mediasi, tapi jangan tunduk atau kalah [dengan kelompok intoleran],” katanya.
Menanggapi persoalan ini, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengimbau masyarakat untuk saling menghormati.
"Semua saling menghormati, paling enak hidup saling menghormati, sadar hak kita dibatasi hak orang lain," kata Yaqut kepada wartawan di Istana Negara, Jumat (24/03).
Jurnalis Ahmad di Kulon Progo, Yogyakarta berkontribusi dalam artikel ini.