Katolik: Vatikan rombak hukum 'terbesar dalam hampir 40 tahun' soal kekerasan seksual, apa saja perubahannya?

Vatikan

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Paus Fransiskus

Paus Fransiskus merombak hukum Gereja Katolik Roma dengan menyatakan secara eksplisit bahwa pelecehan seksual merupakan tindak kriminal.

Itu adalah perubahan hukum terbesar oleh Vatikan menyangkut tindak pidana dalam hampir 40 tahun terakhir.

Aturan baru itu menyatakan bahwa pelecehan seksual, perawatan anak di bawah umur untuk seks, memiliki pornografi anak dan menutupi pelecehan merupakan tindak pidana di bawah hukum Vatikan.

Menurut Paus, perubahan hukum itu bertujuan "mengurangi jumlah kasus di mana ... hukuman diserahkan kepada kebijakan pihak berwenang".

Baca juga:

Perubahan aturan pidana dalam Kitab Hukum Kanonik itu memakan proses selama 11 tahun untuk proses penyusunan serta masukan dari ahli hukum kanonik dan pakar hukum kriminal.

Vatikan dalam beberapa tahun terakhir telah diguncang oleh ribuan laporan rekam jejak pelecehan seksual oleh para rohaniawan dan upaya penutupan kasus-kasus itu oleh rohaniawan senior di penjuru dunia.

Para korban maupun pengritik selama puluhan tahun menyayangkan bahwa hukum yang berlaku di Vatikan selama ini sudah tidak lagi relevan dan dibuat hanya untuk melindungi pelaku dan terbuka untuk multitafsir.

Aturan baru itu menggantikan perubahan sebelumnya yang dibuat oleh Paus Yohanes Paulus II pada 1983.

Hukum yang baru itu dibuat dengan memiliki bahasa yang lebih jelas dan spesifik, dan menentukan bahwa para uskup harus mengambil tindakan bila ada laporan.

Hukum yang baru akan berlaku mulai 8 Desember itu juga melarang penahbisan perempuan, merekam pengakuan dan melakukan penipuan.

Priest

Sumber gambar, Getty Images

Apa saja perubahannya?

Hukum Vatikan yang baru itu pun menyatakan bahwa orang dewasa, seperti juga anak-anak, bisa menjadi korban dari rohaniawan yang menyalahgunakan otoritasnya.

Sebelumnya, pihak Gereja yakin bahwa orang dewasa dapat memberikan atau menarik persetujuan karena usia mereka, dan tidak menyatakan bahwa orang dewasa juga dapat menjadi korban.

Aturan yang diubah tersebut juga menegaskan bahwa seorang uskup bisa kehilangan jabatan bila menggunakan "kekuatan, ancaman, atau penyalahgunaan otoritas" untuk melakukan perbuatan seksual.

Baca juga:

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Untuk kali pertama pula dinyatakan bahwa orang-orang awam yang bekerja dalam sistem Gereja, seperti pengurus administrasi, juga bisa dihukum atas penyalahgunaan berupa dipecat dari pekerjaan, membayar denda, atau dikeluarkan dari komunitasnya.

Hukum tersebut mengkriminalkan praktik "memelihara" anak di bawah umur atau orang dewasa yang dalam kondisi rentan yang akhirnya dipaksa terlibat dalam pornografi.

Pertama kali pula pihak Vatikan secara resmi mengakui bahwa memelihara kaum yang rentan itu merupakan metode yang digunakan oleh predator seks untuk mengeksploitasi dan melecehkan korban.

Peraturan baru itu juga mencabut wewenang diskresi yang sebelumnya membolehkan para pejabat tinggi Gereja untuk mengabaikan atau menutup-nutupi tuduhan pelecehan untuk melindungi rohaniawannya.

Maka, siapapun yang ketahuan bertindak demikian dapat dituduh melakukan pengabaian dengan tidak menyelidiki dan menghukum predator seks.

Monsinyur Filippo Iannone, yang memimpin departemen di Vatikan dalam pengubahan hukum itu, mengatakan bahwa telah terjadi "kelambanan yang luar biasa dalam menafsirkan hukum pidana", di mana faktor belas kasihan terkadang dikedepankan ketimbang keadilan.

Vatikan

Sumber gambar, AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Juru bicara kampanye Ending Clergy Abuse, Peter Isely (kiri), dan korban pelecehan seksual asal Jamaika Denise Buchanan sekaligus pegiat kampanye yang membela para korban pelecehan yang dilakukan rohaniawan Katolik, saat unjuk rasa di luar kantor Vatikan pada 24 Februari 2019.

Perintah Keenam

Perubahan aturan pidana pada Kitab Hukum Kanonik Gereja itu terletak pada bagian baru yang berjudul "pelanggaran atas hidup, martabat, dan kebebasan manusia," yang menggantikan bagian yang berjudul "kejahatan terhadap kewajiban khusus" yang dipandang tidak jelas.

Namun hukum yang baru itu tidak menjabarkan kejahatan-kejahatan seksual terhadap anak-anak, namun malah tetap merujuk pada perintah keenam dari Sepuluh Perintah Allah, yaitu jangan berzina.

Kalangan pegiat sudah sejak lama mendesak pihak Gereja agar mengganti rujukan pada perintah keenam itu, dan menegaskan bahwa pelecehan seksual merupakan kejahatan atas anak-anak ketimbang masih dipandang sebagai pelanggaran selibat rohaniawan.

"Menggambarkan pelecehan seksual atas anak-anak sebagai kejahatan kanonik "perzinahan" itu sudah salah dan mengecilkan sifat kriminal pelecehan dengan korban anak-anak.

Kejahatan kanonik terkait pelecehan seksual anak harus secara jelas dinyatakan sebagai kejahatan terhadap anak-anak," demikian bunyi laporan terkait pelecehan seksual anak-anak pada 2020, yang penyusunannya didukung pemerintah Inggris.

Paus Fransiskus telah mengupayakan penanganan atas dugaan kasus pelecehan seksual yang melibatkan rohaniawan Katolik sejak dipercaya memimpin Vatikan pada 2013.

Dia pun memimpin pertemuan tingkat tinggi pada 2019 yang membahas pelecehan seks yang dilakukan rohaniawan dan mencabut aturan kontroversial "kerahasiaan kepausan" dalam rangka memperbaiki transparansi di Gereja Katolik Roma.

Pihak Gereja sebelumnya menutup-nutupi kasus pelecehan seksual secara rahasia, dengan alasan sebagai upaya melindungi privasi korban dan reputasi pihak yang dituduh.

Kalangan pengritik sebelumnya mengatakan bahwa kalangan pejabat Gereja telah menyalahgunakan aturan agar tidak sampai harus bekerjasama dengan polisi dalam kasus-kasus pelecehan.