BEM UI kritik DPR dengan meme tikus berkepala Puan Maharani, 'mewakili aspirasi masyarakat', namun 'picu perdebatan di luar substansi'

Pengunjuk rasa membentangkan spanduk saat berunjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (14/3/2023).

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Kritik Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) terkait pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja dinilai mewakili dan menyuarakan kegelisahan masyarakat yang terdampak dengan regulasi tersebut.

Namun pengamat politik Ray Rangkuti menganggap cara kritik itu disampaikan —melalui meme tikus berkepala Puan Maharani—justru tidak efisien setelah sejumlah politisi malah menyudutkan dan melabeli gerakan mahasiswa "tidak beretika" ketimbang menjawab kritik tersebut dengan argumen yang substansial.

“Ada peluang mereka menyudutkan gerakan mahasiswa, karena mereka tidak punya argumen untuk menjawab kritik-kritik itu. Jadi alur diskusinya harus kembali ditarik ke substansinya,” kata Ray ketika dihubungi pada Jumat (24/3).

Melalui akun resminya di media sosial, BEM UI mengunggah video pendek yang menggambarkan ilustrasi gedung DPR terbelah. Lalu dua ekor tikus muncul dari atap DPR yang terbelah itu.

Setelahnya, muncul wajah Puan Maharani yang ternyata menempel pada tubuh tikus.

Gambar itu disertai dengan tulisan dengan huruf kapital: "KAMI TIDAK BUTUH DEWAN PERAMPOK RAKYAT".

Selain itu, muncul pula gambar salinan Perppu Cipta Kerja yang perlahan terbakar.

Ketua BEM UI Melki Sedek Huang mengatakan bahwa publikasi itu adalah “puncak kemarahan dan kekecewaan mereka” kepada para anggota DPR, yang dianggap mengabaikan aspirasi masyarakat yang menolak Perppu Cipta Kerja.

“Bagaimana mungkin mereka bisa mengesahkan produk hukum inkonstitusional. Malah seharusnya mereka menuruti putusan MK untuk merevisi, memperbaiki UU Cipta Kerja dengan partisipasi bermakna,” kata Melki kepada BBC News Indonesia.

Hentikan Twitter pesan
Izinkan konten Twitter?

Artikel ini memuat konten yang disediakan Twitter. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Twitter kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah 'terima dan lanjutkan'.

Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal

Lompati Twitter pesan

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Sementara itu, anggota DPR sekaligus politikus PDI-Perjuangan Hendrawan Supratikno menilai tindakan BEM UI “terjebak pada isu murahan”.

“Kalau hanya mengumpat, disertai dengan kata-kata atau diksi yang tidak pada tempatnya, tentu akan membuat orang berpikir, ‘apa ini, mahasiswa kok terjebak isu murahan seperti ini’,” kata Hendrawan.

Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Faldo Maldini bahkan menuding narasi yang dipublikasikan oleh BEM UI “mirip dengan LSM yang didanai asing dan kelompok anti-pemerintah”.

Sebelumnya, DPR mengesahkan Perppu Cipta Kerja pada Selasa (21/3) meski ditolak oleh serikat buruh, aktivis HAM dan mahasiswa.

Perppu itu sebelumnya diusulkan sebagai hak subjektif presiden untuk menggantikan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.

Pemerintah berdalih dikeluarkannya “peraturan darurat” ini untuk menghadapi risiko resesi global pada 2023, konflik di Ukraina, potensi krisis pangan, energi dan moneter global, serta perubahan iklim.

Apa makna dari kritik yang disampaikan BEM UI?

BEM UI memilih menggunakan wajah Ketua DPR Puan Maharani di dalam meme tersebut lantaran dianggap sebagai “representasi dari DPR”.

“Kami tidak ingin membawa ini ke konteks personal serangan individual, tapi Puan Maharani ditempatkan sebagai representasi dari DPR yang hari ini membuat kami kecewa betul,” tutur Melki.

Sementara itu, tikus dipilih sebagai simbol karena merupakan hewan pengerat “yang menggerogoti kiri dan kanannya”.

“Itu yang ingin kami hadirkan pada publik, bahwa saat ini DPR tidak berisi orang-orang yang mewakili kita, tapi berisi tikus-tikus yang siap siaga merampas hak-hak kita,” sambungnya.

Dia mengeklaim meme tersebut bukan ditujukan untuk menghadirkan polemik atau sebatas viral, namun sebagai “kritik keras kepada seluruh anggota DPR”.

“Bagi kami, gedung tersebut tidak lagi menjadi rumah rakyat yang mewakili kepentingan rakyat, tapi berisi para tikus yang rakus, berisi para perampok yang merampas hak-hak masyarakat,” kata Melki.

Apa saja poin kritik BEM UI?

Massa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) Jawa Tengah membakar ban bekas saat aksi unjuk rasa di depan kompleks kantor DPRD Jawa Tengah, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (14/3/2023)

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar,

Perppu Cipta Kerja menuai penolakan dari kelompok mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil.

BEM UI menilai pengesahan Perppu Cipta Kerja “telah melanggar konstitusi”, mengingat pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan Perppu hanya bisa diterbitkan dalam keadaan kegentingan yang memaksa.

Kegentingan yang memaksa itu yang menjadi alasan pemerintah untuk mengesahkan Perppu, yang dipicu oleh ancaman resesi global, perang Ukraina-Rusia, ancaman krisis pangan, dan perubahan iklim.

Terkait ancaman resesi global, BEM UI menilai alasan itu bertolak belakang dengan pernyataan Sri Mulyani bahwa Indonesia tidak masuk ke dalam sepertiga negara yang mengalami resesi.

“Kalau dikatakan ini untuk mengatasi dampak konflik Rusia-Ukraina, kita sebagai masyarakat perlu tahu lebih rinci apakah betul konflik tersebut memberikan dampak nyata bagi perkembangan perekonomian atau ketenagakerjaan di Indonesia?” ujar dia.

BEM UI juga meragukan pertimbangan pemerintah soal kondisi lingkungan hidup di Indonesia, sebab rekam jejak kebijakan pemerintah sejauh ini justru “merusak kelestarian lingkungan hidup”.

“Menurut kami, tidak ada faktor kegentingan memaksa sehingga presiden harus menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Ketika tidak memenuhi syarat kegentingan memaksa, ini inkonstitusional,” tutur dia.

Apalagi, ujarnya, penerbitan Perppu sebagai hak subjektif presiden tidak memberi ruang partisipasi yang berarti bagi publik. Padahal partisipasi yang berarti inilah yang menjadi salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi ketika menetapkan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Argumen ‘tidak dijawab’, ruang kritik ‘diputarbalikkan’

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri) memberikan dokumen pandangan pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani (kedua kanan) disaksikan Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel (kedua kiri), Lodewijk Freidrich Paulus (tengah) dan Sufmi Dasco Ahmad (kanan) saat Sidang Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/3/2023).

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar,

DPR dan pemerintah mengesahkan Perppu Cipta Kerja pada Selasa (21/3/2023).

Menanggapi kritik itu, politisi PDIP Hendrawan Supratikno menilai cara kritik BEM UI menggunakan meme tersebut “tidak menjunjung etika akademik dan tergelincir pada isu-isu yang di permukaan saja”.

“Itu sebabnya kami mengingatkan agar mahasiswa terus menerus mengasah sikap kritis mereka secara bertanggung jawab,” kata Hendrawan.

“Jangan sampai integritas mereka sebagai mahasiswa digadaikan untuk melakukan hal-hal yang sifatnya murahan, isu-isu jalanan yang tidak didukung oleh data-data yang memadai,” sambung dia.

Menurut Hendrawan, mahasiswa semestinya menyampaikan kritik “dengan cara-cara dan metode akademik yang bisa dipertanggungjawabkan.”

Hendrawan juga mempertanyakan mengapa kritik tersebut “tiba-tiba muncul” di tengah rencana pengesahan Perppu Cipta Kerja. Pembahasannya pun, kata Hendrawan, “sudah selesai” setelah Perppu itu disahkan pada Selasa lalu.

Menanggapi itu, Melki mengatakan bahwa BEM UI telah menolak dan mengkritik UU Cipta Kerja sejak baru diusulkan sebagai omnibus law pada 2020. Namun, kritik-kritik itu seolah tidak didengar.

Sedangkan penerbitan Perppu Cipta Kerja dinilai tidak cukup membuka ruang partisipasi bagi publik.

Sejauh ini, BEM UI juga mengeklaim tidak mendapat jawaban “yang substansial” atas kritik-kritik yang mereka sampaikan. Respons dari politisi justru lebih banyak berupa “serangan ad hominem”.

“Seakan-akan dijebak, ‘kemana aja Anda?’, tapi kami tidak bisa berpartisipasi banyak dalam Perppu yang merupakan hak subjektif presiden,” kata dia.

“Ketika kami coba sampaikan kekhawatiran kami, tapi selalu dihadirkan pembahasan yang ad hominem, bahwa mahasiswa tidak pantas mengkritisi karena dasar ilmunya kurang,” sambung Melki.

Pakar politik Ray Rangkuti menilai respons anggota dewan itu menunjukkan bahwa persoalan substansial dalam Perppu Cipta Kerja yang dikritisi oleh publik “memang sulit dijawab” oleh pemerintah dan DPR.

“Pendekatan kekuasaannya lebih dominan dibanding aspek hukumnya. Jadi ketika DPR menyudutkan gerakan mahasiswa seperti itu, besar kemungkinan karena mereka tidak punya argumen untuk menjawab substansinya,” tutur Ray.

Dia mengingatkan bahwa DPR semestinya, bisa menjawab kritikan tersebut dengan jernih yang fokus pada substansi persoalannya.

“Mereka harus menariknya kembali ke substansinya. Jangan berlarut-larut menghakimi gerakan mahasiswa terkait dengan kelompok tertentu."

‘Sarkasme politik tidak efisien’

Di sisi lain, Ray juga menyayangkan cara yang dipilih oleh BEM UI untuk menyampaikan kritik mereka. Menurut Ray “sarkasme politik” cenderung tidak efisien dalam menyampaikan pesan-pesan yang ingin disuarakan.

“Bagi saya itu tidak memiliki efek penting bagi masyarakat. Ributnya bukan pada substansi kritiknya,” kata dia.

Menurut Ray, ini bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, BEM UI juga pernah disorot setelah mengkritik Jokowi dengan karikatur dan menjulukinya sebagai “The King of Lip Service”.

Pada 2010, para demonstran membawa kerbau yang pada tubuhnya dituliskan kata SiBuYa, yang kemudian disamakan dengan presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono. Setelahnya, polemik yang timbul justru terkait masalah etika dalam mengkritik.

“Gerakan mahasiswa semestinya mempertimbangkan psikologi masyarakat juga, sehingga tidak mengaburkan substansi dari kritik tadi,” tutur Ray.

Meski demikian, Ray menilai kekhawatiran yang disampaikan oleh BEM UI telah tepat dan telah mewakili keresahan masyarakat.

“Mereka masih bisa terus mengkampanyekan agar publik tidak lagi memilih anggota DPR yang ikut mengesahkan Perppu Ciptaker. Masa depan ini ada di tangan mereka, bukan di tangan presiden atau anggota DPR,” kata Ray.