Berlian, celana yoga, dan beton... semuanya dibuat dari udara yang tercemar polusi

berlian laboratorium

Sumber gambar, Aether

Keterangan gambar, Perusahaan New York, Aether, membuat perhiasan berlian di lab dari udara.
  • Penulis, Serin Ha
  • Peranan, BBC World Service

Karbon: elemen alam sederhana yang telah membuat masalah besar bagi umat manusia.

Terlalu banyak karbon dioksida (CO2) di atmosfer dapat menyumbang pada pemanasan global yang mengancam kita dengan bencana iklim.

Namun karbon juga sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan. Ia ada dalam makanan yang membantu kita bertahan hidup dan muncul dalam energi yang menggerakkan perekonomian.

Maka, jika ada begitu banyak karbon di udara dan kita membutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari, mengapa kita tidak menggunakannya saja?

Inilah gagasan di balik sejumlah proyek yang berusaha untuk menangkap emisi gas rumah kaca langsung dari atmosfer dan menggunakannya dengan produktif.

Climeworks dari Swiss dan Carbon Engineering dari Kanada adalah dua contoh perusahaan yang tengah mencoba menggunakan teknologi Direct Air Capture (DAC) atau penangkapan udara langsung untuk mengekstrasi CO2 dari atmosfer dan menggunakannya untuk membuat berbagai benda, dari celana yoga hingga berlian.

Namun proses ini tetap ada risikonya.

Fasilitas Direct air capture

Sumber gambar, Carbon Engineering

Keterangan gambar, Seperti ini failitas penangkapan udara langsung dalam skala besar.
Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

DAC bukan jalan keluar mudah untuk persoalan rumit perubahan iklim - bahkan industri DAC pun mengakuinya.

Proses untuk menangkap dan mengekstraksi CO2 tetap akan melepaskan sejumlah CO2 ke udara. Terlebih, teknologi ini masih sangat mahal dan kontribusinya untuk mengurangi jumlah karbon dioksida dari udara saat ini masih sangat sedikit.

Namun banyak ahli sepakat bahwa teknologi Carbon Dioxide Removal (CDR) - termasuk DAC - adalah satu dari sekian banyak langkah penting yang harus kita lakukan untuk mencegah bencana iklim yang besar.

Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) - badan PBB yang bertugas melihat aspek sains terkait perubahan iklim - menyimpulkan dalam laporannya pada April 2022: "Pengerahan CDR untuk mengimbangi emisi residu yang sulit diredakan tidak dapat dihindari jika target nol bersih CO2 atau emisi rumah kaca ingin dicapai."

Ini adalah sebuah kebutuhan yang telah disadari oleh pasar. Sebagian besar CO2 yang ditangkap akan disimpan dan dikubur, baik di dalam tanah maupun di dasar lautan, namun semakin banyak sektor kini hendak menggunakannya.

Data yang dirilis oleh Reuters pada 2021 menunjukkan sejumlah perusahaan rintisan yang menggunakan teknologi ini telah mengumpulkan US$800 juta (sekitar Rp12,2 triliun) dari investor di tahun tersebut untuk memproduksi berbagai produk menggunakan emisi CO2 - ini tiga kali jumlah pendanaan yang mereka dapatkan di 2020.

Berikut adalah beberapa benda menarik yang dapat mereka buat dengan udara yang terpolusi.

Berlian dari udara

ventilator raksasa untuk menangkap CO2 dari atmosfer.

Sumber gambar, Aether

Keterangan gambar, Aether berpartner dengan partnered Climeworks, perusahaan asal Zurich, yang mengoperasikan ventilator raksasa untuk menangkap CO2 dari atmosfer.

Berlian pada dasarnya adalah karbon yang terkondensasi dengan sangat ekstrem. Aether, perusahaan perhiasan asal New York, membuat berlian dari CO2 yang diekstraksi dari atmosfer dan mengeklaim mereka menjalankan seluruh proses pembuatannya dengan energi terbarukan.

Menurut Aether, berlian-berlian yang dibuat di dalam lab ini secara visual dan kimia sangat identik dengan berlian yang ditambang. Satu-satunya cara untuk bisa mengetahui perbedaannya adalah dengan melakukan analisis kimia.

Berlian-berlian ini bahkan disertifikasi oleh Institut Gemologi Internasional, sama seperti berlian-berlian hasil tambang.

Bagaimana berlian bisa dibuat dari udara? Pertama-tama, dengan menggandeng Climeworks, mesin-mesin raksasa menyedot udara dari atmosfer, lalu alat penyaring khusus akan menangkap karbon dioksida dan polutan-polutan lain.

CO2 yang ditangkap itu kemudian dikirim ke sebuah fasilitas di Eropa, di mana mereka diubah menjadi metan hidrokarbon, yang kemudian dijadikan bahan mentah.

Bahan mentah ini lalu dikirim kembali ke reaktor milik Aether di Chicago, di mana panas dan tekanan ekstrem ditambahkan untuk "mengembangkan" berlian.

Pada dasarnya, proses jutaan tahun terpapar panas dan tekanan yang dibutuhkan untuk membuat berlian secara alami dilakukan di dalam lab dengan kurun waktu tiga hingga empat pekan.

Dan Aether bukan satu-satunya perusahaan yang melakukan ini - beberapa perusahaan lain di seluruh dunia juga memproduksi berlian di laboratorium.

Vrai - perusahaan yang didukung oleh Leonardo DiCaprio - berkata berlian-berlian buatan mereka dibuat di pabrik pengecoran tanpa emisi di Amerika Barat Laut Pasifik dengan 100% tenaga air dari Sungai Columbia - pengecoran tersebut disertifikasi Karbon Netral sejak 2017 oleh Natural Capital Partners.

SkyDiamond di Inggris menggunakan proses serupa untuk membuat berlian, dengan menggunakan energi terbarukan, karbon dan air hujan.

Celana yoga dan banyak lagi...

Lululemon

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, LanzaTech membuat benang dan kain pertama dari emisi karbon yang didaur ulang bersama Lululemon.

Berbasis di Chicago, LanzaTech adalah perusahaan rintisan yang fokus pada transformasi-karbon, dan "produk" mereka telah dipakai untuk membuat banyak benda, dari celana yoga hingga wadah makanan dan deterjen.

Spesialisasi LanzaTech adalah mengubah karbon yang dilepaskan oleh pabrik-pabrik industri ke etanol dengan cara memberi makan CO2 ke spesies bakteri anaerobik yang telah dimodifikasi secara genetis.

Bakteri ini - yang pertama kali diidentifikasi puluhan tahun lalu di kotoran kelinci - memetabolis gas karbon dan menghasilkan etanol berkelanjutan, yang kemudian bisa dipakai untuk membuat berbagai material sintetis.

Berpartner dengan jenama pakaian olahraga Lululemon - yang terkenal karena celana yoga mereka - LanzaTech memproduksi benang dan kain pertama di dunia yang dibuat dari emisi karbon yang didaur ulang.

Beton lebih kuat dengan CO2

Rak-rak gamping

Sumber gambar, Reuters

Keterangan gambar, Rak-rak batu gamping yang dihancurkan ada di tempat operasional Heirloom, untuk memaksimalkan kapasitas penyerapan karbon.

Tak seperti perusahaan lain yang menangkap CO2 dengan kipas-kipas raksasa, perusahaan asal California, Heirloom, menggunakan batu gamping untuk menangkap karbon secara langsung.

Perusahaan ini kemudian menyimpannya secara permanen dan dengan aman di bawah tanah atau menggunakannya sebagai material seperti beton.

Seperti ini lah teknologi itu bekerja: batu gamping, yang terbuat dari kalsium oksida (CaO) dan CO2, adalah salah satu tempayan karbon paling penting di planet ini.

Ketika gamping dihancurkan dan dipanaskan, CO2 dilepaskan dan CaO yang tersisa akan berlaku seperti "spons" yang menyerap CO2 - sehingga terbentuklah kondisi gamping secara alami.

Heirloom menempatkan batu-batu penyedot CO2 ini ke rak-rak raksasa yang ditumpuk satu sama lain seperti gedung-gedung mini.

Kondisi ini akan mempercepat proses alami gamping, mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk menyerap CO2 dari tahunan ke tiga hari saja.

Berpartner dengan perusahaan teknologi beton dari Kanada, CarbonCure, kedua perusahaan mencoba untuk "memineralkan" komponen gas itu ke beton.

Saat mereka mendaur ulang, CO2 dicampurkan dalam proses pembuatan beton, dan ini membuat beton semakin kuat - yang disebut oleh perusahaan sebagai skenario yang sama-sama menguntungkan untuk iklim dan produksi beton.

Beton sendiri telah menjadi bagian dari masalah iklim, dan menyumbang sekitar 8% dari emisi karbon global, sehingga menggunakannya untuk menyimpan karbon daur ulang secara permanen adalah solusi yang menarik.

Fakta bahwa beton dipakai secara besar-besaran dan saat ini tak memiliki pengganti juga menjadi keuntungan. Menambahkan CO2 ke beton berarti mengurangi kebutuhan untuk menambahkan semen (bahan untuk dinding beton dengan jejak karbon paling besar).

Heirloom berkata, mereka bertujuan untuk menggunakan kekuatan alami dari batu gamping untuk mengurangi satu miliar ton CO2 pada 2035, menggunakan teknologi DAC "paling rendah biaya di dunia".

Jadi, bisakah kita mengandalkan DAC?

fan plant

Sumber gambar, Carbon Engineering

Keterangan gambar, Sebuah kipas raksasa menyedot udara yang kemudian dicampur larutan kimia untuk menangkap CO2.

Kita memang dapat membuat banyak benda dengan CO2 daur ulang yang disedot dari udara, tapi DAC merupakan teknologi yang masih baru - dan masih sangat mahal.

Berdasarkan laporan World Resource pada Mei 2022, ada 18 pabrik DAC berbagai ukuran yang menangkap total di bawah 8.000 ton CO2 dalam setahun. Ini setara dengan emisi tahunan dari hanya sekitar 1.740 mobil.

Biaya yang dikeluarkan untuk DAC berkisar dari US $250 hingga US $600 (Rp3,8 juta hingga Rp9,1 juta) per ton CO2 yang diekstrak - jauh lebih mahal dari penanaman hutan kembali, yang biasanya butuh kurang dari US $50 (atau sekitar Rp760 ribu) per ton.

Alasan mengapa DAC sangat sulit dan mahal adalah karena CO2 sangat tercampur dan encer di atmosfer, sekitar 400 bagian per juta (ppm) di udara. Jika ada 5.000 bola tenis yang menggambarkan molekul-molekul di udara, hanya dua di antaranya merupakan CO2.

Namun Peter Psarras, asisten profesor peneliti di fakultas teknik kimia dan biomolekular Universitas Pennsylvania, berkata tetap penting untuk memulai DAC sekarang.

"Masalahnya, kita kehabisan waktu dan DAC atau CDR lain harus menjadi bagian besar bagi kita untuk bisa mencapai target iklim," kata ahli CDR dan penangkapan karbon ini kepada BBC.

"Kita harus mulai hari ini, [karena jika tidak] kita tidak akan bisa melakukannya dengan skala besar saat waktunya tiba."

Dia menambahkan, DAC adalah salah satu teknologi paling sederhana untuk diverifikasi, karena komunitas sains telah memiliki "pengetahuan yang kuat soal tekniknya".

"Proses DAC terjadi dalam waktu nyata dan Anda dapat melihatnya. Anda dapat melihat CO2 melalui [sistem] portal yang berada di bawah tanah. Dan Anda dapat mengukur dari kepulan asapnya. [DAC] tahan lama, mudah dipantau dan diverifikasi, meski biayanya mahal.

"Bandingkan dengan hutan, yang memiliki sejumlah variabel yang dapat memengaruhi jumlah CO2 yang diserap dan dilepaskan, dan cara mengukurnya jauh lebih kompleks."